Masalah Gender dan Politik Seksual

Jumat, 10 Februari 2012

Diskriminasi terhadap perempuan cukup kasat mata.
Ketika perempuan masuk dunia kerja, sering mendapat pekerjaan yang paling susah di pabrik atau kantor, dengan upah yang paling rendah, sekaligus terus dibebani dengan kebanyakan tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci dan mengasuh anak-anak.
Perempuan menderita pelecehan seksual dan pemerkosaan, sekaligus dalam media massa dari pornografi sampai ke iklan biasa mereka digambarkan sebagai makhluk yang cantik atau sensual saja, sepertinya tidak mempunyai ciri yang lain. Namun ironisnya, jika perempuan berhubungan seks terlalu bebas, pasti dicap "tanpa susila". Kalau terjadi kecelakaan, susah mencari pengguguran yang masih dilarang di beberapa negeri, termasuk Indonesia.
Semua perempuan mengalami penindasan ini, dari yang berpangkat tinggi seperti Putri Diana sampai yang paling rendah seperti pengemis di pinggir jalan.
Namun penindasan tersebut dampaknya tidaklah sama kepada setiap perempuan. Meskipun di kalangan bisnis para eksekutif wanita masih merupakan minoritas, buat perempuan kaya toh ada cara untuk mengurangi beban ketertindasan yang tidak tersedia kepada perempuan miskin.
Pekerjaan rumah tangga atau pengasuhan anak-anak jelas tidak merupakan beban berat buat seorang wanita berada yang mempekerjakan beberapa pembantu. Pengguguran tidak menjadi masalah bagi yang mampu membayar ongkos perjalanan keluar negeri. Wanita-wanita miskin yang hidup melarat karena keluarga yang terlalu besar, merekalah yang terluka atau mati di tangan tukang abortus gelap.
Yang mempunyai duit lebih mudah menghindari pelecehan seksual atau pemerkosaan dengan naik taksi pada malam hari, lebih mudah luput dari perkawinin tanpa cinta atau dari keganasan rumah tangga, Perempuan kaya malah mendapat untung dari penindasan kaum miskin. Upah rendah yang dibayar kepada TKW Indonesia yang menjadi pembantu rumah-tangga di Hong Kong, misalnya, membuat si majikan lebih kaya lagi. Makanya penindasan perempuan kelihatannya jauh berbeda jika dilihat dari rumah mewah dibandingkan dengan gubuk melarat.
Sudah dari dulu, adanya pertentangan kelas menjadi masalah untuk gerakan emansipasi perempuan. Di Inggeris misalnya, gerakan feminis terpecah setelah Perang Dunia I. Sayap kiri yang dipimpin oleh Sylvia Pankhurst menjadi sosialis dan memperjuangkan hak-hak buruh perempuan di bilangan miskin kota London. Sedangkan ibunya Emmeline Pankhurst dan kakaknya Christobel Pankhurst memusatkan perhatian mereka kepada kepentingan golongan tengah dan menjadi orang sayap kanan.
Demikian pula, gerakan Women's Liberation tahun 1970-an di barat telah terpecah-pecah. Sebagian menjadi sosialis dan/atau tetap radikal, sedangkan sebagian lainnya mancapai karir yang gemilang dan tidak menghiraukan lagi nasib perempuan rakyat kecil.
Untuk mengerti asal-muasal perkembangan ini, kita perlu menganalasa penindasan perempuan dengan lebih mendalam.
Sistem kapitalis membutuhkan dua macam sumber daya. Dari satu sisi membutuhkan modal, seperti pabrik-pabrik, dan kantor-kantor, bank-bank. Dari sisi lainnya memerlukan tenaga kerja yang sehat dan trampil - dan ini mahal. Aparatus negara menyediakan beberapa pelayanan yang penting seperti sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit dsb. Namun sebagian besar dari waktu, upaya dan uang yang diperlukan untuk mereproduksi tenaga kerja baru disediakan oleh keluarga masing-masing.
Inilah kunci pokok untuk mengerti penindasan yang dialami kaum perempuan. Sistem kapitalis mengandalkan pekerjaan tanpa upah yang dilakukan kaum ibu di dalam keluarga, untuk menhasilkan tenaga kerja baru. Segala unsur lain dari penindasan perempuan -- diskriminasi di tempat kerja, stereotip seksual, bahkan pelecehan dan pemerkosaan - berkaitan dengan dan memperkuat peranan rumah tangga ini.
(Di negeri-negeri yang masih sedang berkembang, tentunya ada situasi yang lebih kompleks disebabkan oleh adanya unsur feodal dan pengaruh tradisional lainnya. Padahal penindasan itu muncul sebelum timbulnya sistem kapitalis. Tetapi kapitalisme mengubah segala bentuk penindasan dan memanfaatkannya dengan cara baru.)
Makanya ada dua kesimpulan yang bisa ditarik:
YANG PERTAMA, kalau disimak secara obyektif, penindasan perempuan bukan berasal dari kepentingan kebanyakan laki-laki. Sebaliknya, seorang buruh laki-laki pasti akan beruntung jika upah istrinya dinaikkan. Bila kaum buruh perempuan memperjuangkan gaji yang lebih tinggi, perjuangan tersebut akan memberikan semangat kepada para buruh laki-laki untuk ikut berjuang. Dalam konteks keluarga, kaum laki-laki juga tidak beruntung jika istri-istri mereka harus kerja sampai tenaga mereka terkuras..
Betul, ada banyak laki-laki yang tidak melihat kenyataan ini, dan terus mengajukan prasangka-prasangka yang kolot. Tetapi ada juga banyak perempuan yang menerima prasangka-prasangka tersebut. Ini soal kesadaran, yang bisa berubah dalam konteks perjuangan sosial.
Lain halnya dengan kelas burjuis yang berkuasa (termasuk pemilik modal, pejabat tinggi, jendral-jendral dll, tetapi juga istri-istrinya). Mereka jelas beruntung dari penindasan perempuan rakyat kecil. Selama banyak wanita rakyat jelata bekerja habis-habisan dalam keluarga, para majikan terus mendapatkan tenaga kerja murah, baik dalam bentuk tenaga kerja pabrik/kantor, maupun dalam bentuk pembantu, tukang kebun dll yang begitu menggembirakan hati wanita kaya. Selama diskriminisi terhadap perempuan bertahan di tempat kerja, kaum buruh lebih sulit bersatu untuk memperjuangkan perbaikan nasib, maka kaum majikan beruntung lagi.
YANG KEDUA, strategi yang lazim dipakai oleh golongan feminis di barat, yang berusaha menyatukan semua perempuan melawan kaum laki-laki adalah salah. Meskipun banyak laki-laki dari rakyat kecil masih berprasangka buruk, tetapi keadaan obyektif memuat faktor-faktor yang dapat mendesak mereka untuk membela hak-hak perempuan. Di sisi yang lain, meskipun tidak sedikit perempuan kaya yang bersikap "feminis", tetapi situasi obyektif memuat banyak faktor yang mendorong mereka untuk mentolerir dan bahkan mengiyakan penindasan perempuan rakyat kecil.
Kaum sosialis menganut pembebasan perempuan. Kami bahkan menyokong reform-reform yang hanya meladeni kepentingan perempuan golongan atas dan golongan tengah. Namun pembebasan untuk massa perempuan kelas buruh dan rakyat kecil hanya mungkin bila mereka ikut serta dalam perjuangan kelas yang lebih luas.
Bila sebagai reaksi terhadap penindasan, golongon perempuan tertentu ingin mendirikan kelompok tersendiri di-mana laki-laki tidah boleh berpartisipasi, kami kelompok sosialis jelas membela hak mereka untuk melakukan itu. Tetapi kami menghimbau agar seluruh kelas buruh, dan semua rakyat kecil, bersatu dalam perjuangan melawan segala bentuk penindasan dan eksploitasi.
Kita juga harus melawan penindasan terhadap kaum homoseksual dan lesbian (gay). Kaum gay seringkali dikambing-hitamkan sebagai biang keladi dari masalah-masalah sosial, padahal justru mereka yang menjadi korban.
Penindasan terhadap kaum gay juga berkaitan dengan keperluan sistem kapitalis untuk memproduksi tenaga kerja dan struktur-struktur ideologis lewat keluarga "normal". Orang yang tidak menyesuaikan diri untuk memainkan peranan sebagai laki-laki atau perempuan "normal" dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban sosial. Prasangka ini tercerminkan pula dalam struktur-struktur sosial-budaya, dimana kaum gay dianggap tidak senonoh, dan bisa di-PHK, dipukul, bahkan dibunuh lantaran gaya hidup mereka yang lain.
Sebetulnya kita semua dirugikan oleh situasi ini, karena terpaksa kita harus hidup menurut pola tindak-tanduk yang kelewat sempit (konservatif). Makanya, semestinya kita menyambut dengan antusias munculnya organisasi gay dewasa ini yang memperjuangkan hak-hak mereka.
Share this article on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat All Rights Reserved.
Template Design by team Lembaga dot us | Published by team Lembaga dot us | Powered by Blogger.com.