Minggu, 12 Februari 2012

Negara Kuras Miliaran Rupiah Atasi Dampak Lingkungan

BLANG PIDIE - Puluhan hektare hutan di bekas lokasi pertama rencana Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Aceh Barat Daya (Abdya) di Desa Gunung Samarinda Kecamatan Babah Rot, ditebang tanpa menyisakan sebatang pohon.

Pantauan The Atjeh Post di lokasi pada Sabtu 11 Februari 2012, jika hujan tanah di bekas hutan itu menjadi lumpur dan mengalir hingga menutupi sekitar 120 meter badan jalan nasional Blangpidie-Banda Aceh.

Ketinggian lumpur bisa mencapai di atas tiga meter sehingga sulit dilalui kenderaan bermotor. Selain lumpur di badan jalan juga tampak batang-batang kayu sisa pembakaran hutan yang mengelinding akibat dibawa arus banjir beberapa waktu lalu.

Tampak juga bangunan tanggul pengaman tebing guna menahan terjangan lumpur yang akan menutupi badan jalan nasional itu yang baru saja selesai dikerjakan.

Informasi yang berhasil dihimpun The Atjeh Post menyebutkan kalau pembangunan talud penahan tebing itu didanai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2011 dengan total anggaran Rp1.109 milliar dan dikerjakan oleh CV Detra Dela Utama dari Banda Aceh.

“Tapi anehnya yang kami ketahui proyek ini diajukan dengan nama kegiatan bencana alam. Padahal yang pasti ini adalah akibat dari perencanaan yang tidak matang dalam pembangunan PKS Abdya,” kata RS Darmansyah, anggota DPRK Abdya di lokasi tersebut.

Dalam perencanaan awal, kata Darmansyah, lokasi pembangunan PKS Abdya memang ditunjuk di Gunung Samarinda, Babah Rot. "Saat dilakukan pematangan lahan oleh Pemkab Abdya melalui rekanan pemenang tender untuk pematangan lahan dilakukan penebangan hutan secara membabi buta dan juga meratakan tanah dengan menggunakan alat berat," ujar Darmansyah.

Tapi, kata Darmansyah, saat pematangan lahan hampir rampung dan di lokasi juga sudah mulai dibangun perumahan karyawan, perkantoran, pagar, serta peletakan batu pertama oleh Bupati Akmal Ibrahim, terjadi sengketa antara Pemkab Abdya dengan pemilik lahan dalam hal pembayaran.

Karena tidak menemui titik temu, Pemkab Abdya memindahkan lokasi PKS ke lokasi baru di Desa Lhok Gayo, Babah Rot. “Padahal izin di lokasi ini sudah final, sementara izin di lokasi baru masih dipertanyakan,” ujar Darmansyah.

Kini, kata dia, akibat erosi itu negara kembali harus menguras dana miliaran rupiah untuk mengatasi dampak lingkungan yang ditimbulkan. "Setelah sebelumnya negara juga harus mengeluarkan dana Rp30 miliar guna membangun PKS Abdya. Artinya negara menderita kerugian dua kali akibat dari perencanaan yang tidak matang dalam pembangunan PKS Abdya,” ujar Darmansyah.

Pernyataan Darmansyah juga diperkuat Irfan Faisal, Pj Ketua Komisi Nasional Pengawasan Aparatur Negara Abdya, kepada The Atjeh Post, Sabtu 11 Februari 2012. Irfan mengatakan kalau perencanan pembangunan PKS Abdya dilakukan oleh yang bukan ahlinya dan hanya bersifat “cilet-cilet”.

Akibatnya kata Irfan, negara harus menanggung kerugian besar. “Dalam konsep penyelenggara negara, apapun ceritanya negara tidak boleh dirugikan, bila negara menderita kerugian akibat perencanaan yang tidak matang, maka ini akan jadi sebuah kasus besar dan pihak berwajib diminta untuk segera mengusut masalah ini,” katanya.

Sumber lain yang ditemui The Atjeh Post di lokasi, Agam, menjelaskan pembangunan proyek tanggul pengaman tebing yang didanai dari APBN 2011 itu memakai nama kegiatan peningkatan struktur jalan atau rekonstruksi Jalan Blang Pidie dengan nomor kontrak Ku.08.08/Br.A3/159/APBN/2011 dengan volume kerja sepanjang 84 meter.

“Kedalaman tanggul yang kita kerjakan yakni 2,3 meter, tebal 2,2 meter dan tinggi dari dasar 4,5 meter,” kata Agam yang juga merupakan salah seorang pekerja pada pembangunan tanggul beberapa waktu lalu.

Terkait masalah itu, Khairuddin, Penanggung Jawab CV Detra Della Utama yang coba dimintai keterangan oleh belum memberikan tanggapan apapun. Telepon seluler yang biasa digunakan tidak aktif.

Demikian juga dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan selaku penanggung jawab kegiatan pembangunan PKS Abdya sampai berita ini diturunkan tidak mau memberikan tanggapan apapun. Beberapa kali dihubungi ke ponselnya yang bersangkutan tidak mau mengangkat telepon meskipun panggilan terhubung. Pesan pendek yang dikirimkan juga tidak mendapat balasan.

Sumber: Atjehpost.com

Kebijakan Kehutanan Yang Pro-Modal

Konflik antara petani Pulau Padang dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) milik konglomerat Sukanto Tanoto merupakan cerminan keberpihakan negara pada pemilik modal dalam pengelolaan kehutanan di negeri ini. Dengan mudahnya Menteri Kehutanan (Menhut) RI mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menhut No. 327 tahun 2009 yang memberikan izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada PT RAPP tanpa menghiraukan hak-hak penduduk lokal yang telah lebih dahulu berdomisili di kawasan tersebut. Bahkan, Menhut RI Zulkifli Hasan dengan entengnya mengatakan Pulau Padang tidak ‘berpenghuni’. Perkataan yang sangat tidak layak dikemukakan oleh seorang pejabat publik.

Di sisi lain, bila kita meninjau pola pengelolaan sumber daya kehutanan oleh otoritas negara, maka kita pun menjadi maklum akan situasi yang terjadi di Pulau Padang dan puluhan konflik serupa di tanah air. Mengapa maklum? Karena memang orientasi dari pengelolaan kehutanan negara ini sangat pro terhadap kepentingan modal.

Aspek Regulasi Dan Realitas

Secara legal, pengaturan pengelolaan sumber daya kehutanan Indonesia saat ini merujuk pada Undang-undang (UU) Kehutanan No.41 tahun 1999. UU ini merupakan aturan hukum yang menggantikan UU Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 produk Orde Baru. Penting untuk dicatat, selain UU Kehutanan 41/1999 masih ada UU lain yang juga mengatur tentang kehutanan, yakni UU Pokok Agraria (PA) No.5/1960.

Dalam UU No41/1999, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) diberikan kewenangan untuk menentukan suatu kawasan menjadi kawasan hutan dan kemudian mengelola kawasan itu. Menurut UU itu, kawasan hutan di Indonesia terbagi menjadi dua, yakni kawasan hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah wilayah hutan yang ditetapkan pemerintah (Kemenhut) untuk dikelola oleh negara, baik itu Kemenhut maupun Badan Usaha Milik Negara (Perhutani). Jadi tidak boleh ada hak milik privat dalam kawasan tersebut.

Sementara hutan hak merupakan wilayah hutan yang dapat dimiliki secara privat. Hak milik atas tanah dalam wilayah hutan hak ditetapkan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Bila ditelaah, problem telah muncul dalam penetapan kawasan hutan jauh sebelum UU No. 41/1999 diberlakukan. Pada UU Nomor 5/1967 telah diatur penetapan kawasan hutan oleh negara (Departemen Kehutanan/Dephut). Mekanisme penetapan dan pengelolaan kawasan hutan secara teknis diatur lagi dalam aturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan.

Masalahnya: sebelum PP dan UU No5/1967 itu diterbitkan, pemerintah telah memberikan berbagai konsesi pengusahaan hutan terhadap para pemilik modal. Hal ini tak dapat dilepaskan dari konstelasi politik masa itu. Seiring dengan keberhasilannya menjatuhkan pemerintahan Soekarno, dengan sokongan modal multinasional, maka rezim Orde Baru harus ‘membalas’ kebaikan para penyokongnya itu.

Oleh karena itu, sejak awal berdirinya, pemerintah Orde Baru telah memberikan izin pada berbagai perusahaan asing untuk mengeksploitasi wilayah hutan alam tanpa menghiraukan hak-hak masyarakat lokal yang hidup disekitar ataupun didalam kawasan hutan. Artinya, telah terjadi penguasaan oleh pemilik modal terhadap hutan alam yang belum dikaji secara komprehensif mengenai kondisi obyektif atau kepemilikannya. Akibatnya, banyak terjadi tumpang tindih lahan antara tanah milik rakyat atau komunitas adat (tanah ulayat) dengan areal konsesi milik pengusaha. Inilah awal dari orientasi pengelolaan sektor kehutanan Indonesia yang pro-modal.

Pada perkembangan selanjutnya, di dekade 1980-an, penetapan kawasan hutan pun usai dilakukan oleh pemerintah. Tiga per empat (120 juta hektar) dari wilayah darat Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Dephut. Lagi-lagi, proses penetapan ini sama sekali tidak memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang faktanya hidup disekitar kawasan hutan.

Bahkan, areal-areal yang secara ‘kasat mata’ tidak tampak sebagai hutan, seperti pemukiman, padang rumput dan ladang, juga dikategorikan sebagai kawasan hutan. Konsekuensinya, bila kawasan itu dimasukkan dalam kawasan konservasi atau lindung, maka penduduk dilarang tinggal atau mencari penghidupan dalam kawasan tersebut. Sedangkan jika kawasan hutan tersebut dijadikan hutan produksi, maka dipastikan pengusaha lah yang akan mengeksploitasi wilayah itu. Hal ini makin memperparah pelanggaran hak masayarakat lokal oleh negara dan pemodal.

Mindset yang Tak Berubah

Pelanggaran hak rakyat itu dilanjutkan oleh UU No.41/1999. Dalam bagian Penjelasan dinyatakan bahwa seluruh wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah ulayat atau adat masuk dalam kategori hutan negara. Aturan ini jelas-jelas mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah ada jauh sebelum UU ini muncul, bahkan sebelum Republik Indonesia ini berdiri. Padahal hak ulayat masyarakat adat telah diakui dalam UUPA 1960.

Kekacauan manajerial sektor kehutanan Indonesia pasca berlakunya UU 41/1999 semakin tampak ketika penataan kehutanan yang dilakukan Dephut selesai ditahun 2003. Hasil dari proses tersebut adalah ditetapkannya 12 juta hektar atau 10% dari kawasan hutan Indonesia (termasuk berbagai wilayah ulayat) sebagai kawasan hutan negara.

Sementara, 108 juta hektar atau 90% tanah sisanya dikategorikan oleh BPN sebagai tanah yang dikuasai negara, tetapi bukan tanah negara. Dan status tanah seluas 108 juta hektar itu menjadi kawasan hutan hak atau hutan milik yang dapat dikuasai secara privat oleh pemilik modal.

Celakanya, dalam penetapan kawasan hutan hak yang notebene memiliki lahan terluas dari keseluruhan kawasan hutan Indonesia itu sama sekali tidak dikaji lebih dahulu mengenai ada tidaknya masyarakat lokal yang kehidupannya bergantung pada kawasan hutan tersebut. Kekeliruan pengelolaan hutan era Orde Baru kembali terulang di era reformasi. Hal ini menandakan mindset penguasa yang juga belum berubah. Izin pengusahaan hutan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) kerap dikeluarkan Kemenhut tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.

Buahnya, konflik agraria di sektor kehutanan yang umumnya mengorbankan rakyat lokal, petani maupun masyarakat adat makin marak. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, pada tahun 2011 saja telah terjadi 36 kasus sengketa lahan di sektor kehutanan. Konflik di areal hutan ini menduduki peringkat kedua setelah sengketa lahan di sektor perkebunan (97 kasus) dari keseluruhan konflik agraria yang terjadi tahun lalu. Kasus konflik di Pulau Padang dan sengketa lahan antara petani dengan PT Wira Karya Sakti (WKS) milik Grup Sinar Mas di Desa Senyerang, Jambi, merupakan sedikit dari banyaknya konflik lahan disektor kehutanan negeri ini.

Penindasan berulangkali terhadap masyarakat lokal dan petani yang hidupnya bergantung pada hutan tidak akan usai tanpa membenahi akar permasalahannya yakni keberpihakan negara pada pemilik modal. Kerancuan regulasi yang ada menjadi celah bagi ‘perselingkuhan’ jahat negara dengan modal. Hal itu hanya bisa dituntaskan dengan sinergi antar gerakan rakyat yang berjuang demi pelaksanaaan reforma agraria sejati yang berdasarkan UU PA No.5/1960 dan Pasal 33 UUD 1945.

Sumber: Berdikari Online
Sabtu, 11 Februari 2012

Dunia Maya dan Gerakan Sosial Anti Korupsi

Akhirnya, setelah cukup lama menggelinding tidak jelas, kasus korupsi wisma atlet mulai menyeret aktor-aktor utamanya. Pada 3 Februari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang petinggi partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka.

Di jejaring sosial, khususnya Facebook dan Twitter, gebrakan KPK tersebut mengundang apresiasi banyak orang. Maklum, pejabat KPK sebelum periode sekarang tidak punya keberanian untuk mengungkap sejumlah kasus korupsi di sarang penguasa: istana dan partai demokrat.

Gairah anti-korupsi pun muncul kembali. Iklan anti-korupsi partai demokrat, yang juga melibatkan Angelina dan Anas Urbaningrum sebagai aktornya, jadi ‘bulan-bulanan’ kecaman warga Facebook. Bagi sebagian orang, dengan terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan banyak orang Demokrat, bahkan kemungkinan menyeret Ketua Umumnya Anas Urbaningrum, jualan SBY tentang anti-korupsi sudah tidak laku lagi.

Pada tahun 2009 lalu, ketika dua petinggi KPK hendak dikriminalkan oleh Polisi, muncul gerakan sosial anti-korupsi yang cukup kuat di jejaring sosial. Di facebook, misalnya, dukungan terhadap gerakan ini mencapai jutaan orang/pengguna. Lalu, dalam kasus Prita Mulyasari, dukungan luas di dunia maya juga sangat besar.

Akan tetapi, kendati dukungan begitu melimpah ruah di dunia, tetapi di jalanan dukungan itu tidak terlalu signifikan. Sebagian besar facebooker dan tweeple (pengguna twitter), yang juga sebagian besar klas menengah, hanya sanggup bergerak di dunia maya.

Benar, jejaring sosial punya signifikansi dalam kampanye dan penggalangan isu. Hanya saja, aktivitas dunia maya (klik, update status, share) belum tentu bisa mengubah keadaan. Tetap saja gerakan sosial di dunia maya itu butuh aksi konkret di dunia nyata.

Internet, sengaja atau tidak, telah memprivatisasi kehidupan politik. Banyak orang mempercayai bahwa mensirkulasikan berbagai statemen, kronologis, atau manifesto untuk orang lain di jejaring sosial adalah aksi politik. Akhirnya, mereka mengabaikan pentingnya aksi politik di dunia nyata: aksi ke sasaran-sasaran kekuasaan, konfrontasi, penggalangan massa rakyat, dan seterusnya.

Kita pun melihat fenoma politik waktu luang. Aktualisasi politik sekedar untuk mengisi waktu luang. Jadinya, kelihatan seperti aji-mumpung: mumpung ada waktu, ia melontarkan kritik via update status atau comment. Ini adalah gaya berpolitik klas menengah, yang terpisah dan kehilangan kontak dengan realitas dan massa luas.

‘Pengkultusan’ terhadap peran internet dalam sejumlah perubahan sosial di ‘Arab Spring”, khususnya di Tunisia dan Mesir, telah mengabaikan fakta: gerakan revolusioner di Mesir, juga Tunisia, tidak akan mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar jikalau tidak ada pengorganisiran massa, propaganda massif, pengorganisiran rakyat, pembuatan panggung-panggung protes, dan seterusnya.

Di negara-negara yang sangat represif, seperti Mesir dan Tunisia, jejaring sosial memang bisa berperan penting dalam mempublikasikan aksi publik, menggalang solidaritas, dan mengorganisir protes. Akan tetapi, di negera yang sangat liberal seperti Indonesia, kontak langsung dengan massa justru menjadi sangat penting.

Lagi pula, jejarang sosial bisa sangat berguna bagi gerakan sosial, tapi ia tidak dapat diandalkan untuk melakukan revolusi; ia dapat memberi informasi, mengorganisir forum debat, dan menyerukan mobilisasi, tetapi ia tidak dapat menyediakan kepemimpinan dan organisasi untuk memastikan aksi politik sampai pada perebutan (bukan sekedar menggulingkan) kekuasaan.

Oleh karena itu, di tengah ‘kegentingan’ negara kita akibat korupsi, dan terutama sekali akibat eksploitasi neoliberal, sangat diharapkan adanya tindakan dan aksi politik yang konkret: protes besar-besaran, pawai akbar, rapat akbar, konfrontasi di pusat kekuasaan, dan lain-lain.

Melansir data Socialbakers.com, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 43,06 juta pengguna. Sedangkan pengguna Twitter di Indonesia mencapai 19,5 juta akun. Artinya, dengan jumlah sebesar itu, jejaring sosial memang potensial sebagai media propaganda dan meluaskan perlawanan.

Akan tetapi, dunia maya bukanlah arena perjuangan sosial sesungguhnya, melainkan di dunia nyata. Korupsi tidak akan berhenti kalau cuma dikecam, tetapi memerlukan adanya aksi politik untuk menghancurkan sistim ekonomi-politik yang telah memungkinkan terjadinya korusi.

Sudah tiba saatnya protes dan kemarahan di dunia maya dimanifestasikan di dunia nyata. Sudah tiba saatnya pula kaum militan di dunia maya menjalin kontak dengan realitas dan massa rakyat.

Sumber: Berdikari Online

Perempuan Dan Revolusi Indonesia

Banyak sekali penulisan sejarah tentang revolusi Indonesia. Dari situ, kita mengenal nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Hampir semuanya adalah nama laki-laki. Hampir tidak terdengar satupun nama perempuan.

Harry A Poeze, peneliti sejarah revolusi Indonesia khususnya Tan Malaka, menulis tentang tujuh begawan revolusi Indonesia: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution. Merekalah, kata Poeze, dengan kadar yang berbeda, menentukan arah dan produk revolusi Indonesia.

Semuanya adalah laki-laki. Padahal, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, perempuan sudah ambil bagian dalam perjuangan anti-kolonial. Sebut saja nama-nama besar seperti SK Trimurti dan Umi Sardjono. Keduanya terlibat dalam gerakan politik melawan kolonial, gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang, dan perang mempertahankan kemerdekaan.

Menurut Irine Gayatri, peneliti feminis dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kronik sejarah Indonesia hampir tidak menyisakan ruang yang cukup luas untuk berkisah tentang perempuan dalam aspek gerakan sosial maupun ketokohan individu.

Hal itu, menurut Irine, disebabkan oleh tiga hal: (1) dominasi pengalaman organisasional perempuan Barat dalam literatur mengenai gerakan perempuan, (2) isolasi dari teks mengenai gerakan perempuan yang berbahasa Inggris dalam jaringan akademik dan aktivis, dan (3) isolasi dan asumsi bahwa pengalaman ketertindasan perempuan di semua belahan dunia adalah sama, maka perbedaan di antara perempuan ”dunia ketiga” dan perempuan dari negara-negara Barat tidak selalu muncul.

Padahal, seperti disimpulkan Ruth Indiah Rahayu, seorang peneliti feminis dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), perempuan bukan hanya sekedar berperan, tetapi turut menciptakan revolusi Indonesia.

Ruth, yang mengutip Christine Dobbin—peneliti dari Australia, menganggap perempuan dibuat absen dalam historiografi revolusi Indonesia karena penggunaan istilah “pemuda” yang diidentikkan dengan laki-laki.

>>>

Pada jaman pendudukan Jepang, ada dua tokoh perempuan yang sangat menonjol dalam perjuangan bawah tanah, yaitu SK Trimurti dan Umi Sardjono. “Keduanya tidak disebut dalam teks pelajaran sejarah nasional Indonesia,” kata Ruth saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Perempuan Memandang Revolusi Agustus”, Selasa (23/8).

Keduanya juga pernah tertangkap oleh Jepang dan mengalami siksaan berat. Seusai proklamasi kemerdekaan, keduanya berperan penting dalam pembentukan organisasi Barisan Buruh Wanita (BBW). “Tetapi mereka berpisah ketika SK Trimurti mendirikan Partai Buruh Indonesia,” ungkap Ruth.

Di tempat lain, pada 22 September 1945, Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) membentuk Barisan Srikandi. Organisasi ini khusus merekrut perempuan dalam kepentingan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi ini kelak berubah nama menjadi Barisan Srikandi Indonesia (BSI). Kegiatannya, antara lain, adalah mendirikan pusat pelatihan bagi tenaga perempuan sebagai persiapan pertempuran melawan kolonial.

Ruth juga bercerita tentang perjuangan perempuan di berbagai daerah. Di aceh, misalnya, berdiri organisasi Persatuan Isteri Tentara RI, yang berjuang aktif mendukung para suami di medan pertempuran. Berdiri pula organisasi kelaskaran wanita, yaitu Laswi (Laskar Wanita Indonesia), yang kebanyakan beraktivitas di pulau Jawa.

Cora Vreede-De Stuer, ilmuwan perempuan asal Belanda, telah melakukan riset mengenai gerakan perempuan pada awal kebangkitan gerakan nasionalisme sampai periode Demokrasi Parlementer tahun 1950-an. Studi De Stuer, seperti dijelaskan Irine Gayatri, memperlihatkan perubahan kesadaran perempuan dalam melawan penjajahan dalam arti luas, tidak hanya pemerintah kolonial, namun seluruh praktik yang memenjarakan perempuan.

>>>

Posisi perempuan dalam perjuangan nasional ini memang menarik. Soekarno sendiri memberikan penekanan khusus mengenai soal ini dalam bukunya, Sarinah. Menurut Irine Gayatri, perempuan mempunyai posisi yang “unik” dalam kerangka nasionalisme.

“Umumnya dianggap bahwa perempuan dan tubuhnya memegang peran penting dalam membayangkan eksistensi bangsa, simbolisasinya dan dukungannya terhadap perjuangan anti kolonial,” katanya.

Teori klasik feminisme, menurut Irine, melihat perempuan berdasarkan asumsi bahwa nasionalisme dan kebangsaan mengandung ide khusus mengenai keperempuanan (keibuan) dan kelai-laki-an. Sebab itu, relasi gender menjadi inti dari cara konstruksi sebuah bangsa.

Dengan peran ibu sebagai ibu bangsa (womanhood), teori feminis berpendapat, bahwa perempuan bertanggungjawab terhadap reproduksi budaya, fisik dan sosial suatu bangsa, serta diharapkan menjalankan peran pengasuhan sebagaimana dilakukan dalam lingkup keluarga.

Akan tetapi, bagi Irine, perspektif nasionalisme perlu ditinjau ulang terkait dengan situasi kaum perempuan saat ini, khususnya di tengah serbuan modal dari luar negeri, oligarki politik, dan ketidakmerataan sumber daya perempuan.

(Ulfa Ilyas)

Kemana Intelektual Kritis?

Keadaan negara kita makin darurat: kemiskinan makin meluas, korupsi merajalela, ketidakadilan terus dipertontonkan, sumber daya alam dikuasai segelintir perusahaan asing, dan negara yang makin tak berdaulat.

Di tengah situasi seperti itu, kita belum mendengar suara nyaring kaum intelektual mengeritik keadaan tersebut. Pada pertengahan Januari lalu, Arya Hadi Dharmawan, seorang dosen di Institut Pertanian Bogor, mengirim surat kepada Presiden SBY. Akan tetapi, orang-orang seperti Arya masih sangat sedikit. Padahal, negara ini punya banyak professor, doktor, master, sarjana, dan lain-lain.

Kami teringat dengan Noam Chomsky, seorang intelektual besar abad 20, pernah mencemooh kecenderungan intelektual, khususnya di Universitas, yang tak ubahnya sebagai pelayan kebenaran penguasa. Maklum, Chomksy pernah merasakan era dimana kampus pernah menjadi sarang kaum radikal, yaitu tahun 1960-1970-an.

Kampus sudah meninggalkan peran klasik mereka: sumber atau pusat kritik. Peran kaum intelektual telah bergeser; dari pengeritik kapitalisme menjadi pengusung atau pelayan kapitalisme.

Kapitalisme lanjut memang berambisi menghabisi pemikiran-pemikiran radikal. Ini sejalan dengan gagasan Margaret Tatcher: “There is no alternative”. Pendek kata, tugas pendidikan kapitalistik adalah membantai fantasi “dunia lain”. Bagi mereka, puncak sejarah manusia adalah pasar bebas.

Sejak neoliberalisme berkuasa di dunia pendidikan, logika komoditas juga makin menggejala dan merasuki gaya hidup Universitas. Lihatlah bagaimana para dosen menciptakan fantasi kepada murid-muridnya tentang dunia luar (dunia kerja) yang begitu indah. Sementara murid, yang sudah terobsesi dengan gaya hidup mewah, tidak sabar lagi untuk menuntaskan studi dan ditempatkan di sebuah perusahaan besar.

Akhirnya, terjadilah apa yang pernah direnungkan oleh Karl Marx ratusan tahun yang lalu. Dalam karya “Reflections of a Young Man on The Choice of a Profession”, Marx mengatakan: “Kita hidup dalam sebuah masyarakat yang telah menentukan apa yang harus kita lakukan sebelum kita punya kesempatan untuk menentukannya.”

Professor-professor kita suka mengurung diri dalam ruang-ruang penelitian. Dan, kalaupun mereka terjun dalam realitas, maka rakyat pun akan dikalkulasi dalam indeks dan persentase. Mereka akan berusaha menjawab persoalan-persoalan rakyat dengan mengacu pada apa yang diajarkan dalam diktat-diktat.

Kita sedang berhadapan dengan—meminjam istilah penyair WS Rendra—“pendidik yang terpisah dengan persoalan kehidupan”. Mereka tidak mendidik muridnya agar mengerti tugasnya sebagai manusia, melainkan agar siap menjadi ‘sekrup’ dalam sistim kapitalisme.

Padahal, kata Marx, pekerjaan yang mulia adalah memuliakan manusia, yang menjadikan tindakan-tindakan dan segenap usaha manusia menjadi lebih mulia, yang menjadikan diri manusia lebih kokoh, dikagumi oleh khalayak luas dan mencapai kemuliaan yang lebih tinggi lagi.

Dengan semakin terkooptasinya kampus oleh kapitalisme, maka peran kaum intelektual pun makin bergeser keluar kampus. Dalam banyak kasus, di banyak negara, peran kritis itu diambil alih oleh penulis dan seniman. Merekalah yang biasanya bekerja sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar: kebebasan.

Akan tetapi, di situ juga ada masalah: biasanya konsen pada penulis dan seniman, termasuk yang paling militan, adalah mempertahankan kebebasan individu dan kebebasan sipil. Mereka biasanya sangat sulit untuk menerobos kerangka moral dan terjun dalam perjuangan politik.

Novelis hebat seperti Salman Rushdie, misalnya, sangat keras menentang fundamentalisme. Akan tetapi, sangat sulit mengharapkan dia berbicara soal hak-hak pekerja, penentangan terhadap imperialisme, dan lain-lain.

Kita tahu bahwa ada masalah dengan keadaan sekarang. Tetapi sangat sedikit orang, khususnya kaum intelektual, yang mau menjelaskan keadaan ini kepada massa rakyat. Tugas intelektual saat ini adalah menjelaskan keadaan ini seterang-terangnya, dengan penjelasan yang gampang dipahami, kepada rakyat.

Tugas kaum intelektual, khususnya yang disebut intelektual organik, adalah membela kaum yang tertindas melawan penindas. Dalam point ini, kita ingat kata-kata Marx, bukan sekedar memahami dunia tetapi mengubahnya. Akan tetapi, tidak ada orang yang dapat mengubah dunia sendirian, karena hanya massa yang bisa mengubah dunia; dan tidak seorang pun bisa mengubah dunia atau keadaan, jikalau dunia dan keadaan itu sendiri tidak dipahaminya. Di sinilah tugas kaum intelektual: memahamkan dunia kepada massa rakyat dan mengubah dunia bersama massa rakyat.

Sumber: Berdikari Online
Jumat, 10 Februari 2012

Masalah Gender dan Politik Seksual

Diskriminasi terhadap perempuan cukup kasat mata.
Ketika perempuan masuk dunia kerja, sering mendapat pekerjaan yang paling susah di pabrik atau kantor, dengan upah yang paling rendah, sekaligus terus dibebani dengan kebanyakan tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci dan mengasuh anak-anak.
Perempuan menderita pelecehan seksual dan pemerkosaan, sekaligus dalam media massa dari pornografi sampai ke iklan biasa mereka digambarkan sebagai makhluk yang cantik atau sensual saja, sepertinya tidak mempunyai ciri yang lain. Namun ironisnya, jika perempuan berhubungan seks terlalu bebas, pasti dicap "tanpa susila". Kalau terjadi kecelakaan, susah mencari pengguguran yang masih dilarang di beberapa negeri, termasuk Indonesia.
Semua perempuan mengalami penindasan ini, dari yang berpangkat tinggi seperti Putri Diana sampai yang paling rendah seperti pengemis di pinggir jalan.
Namun penindasan tersebut dampaknya tidaklah sama kepada setiap perempuan. Meskipun di kalangan bisnis para eksekutif wanita masih merupakan minoritas, buat perempuan kaya toh ada cara untuk mengurangi beban ketertindasan yang tidak tersedia kepada perempuan miskin.
Pekerjaan rumah tangga atau pengasuhan anak-anak jelas tidak merupakan beban berat buat seorang wanita berada yang mempekerjakan beberapa pembantu. Pengguguran tidak menjadi masalah bagi yang mampu membayar ongkos perjalanan keluar negeri. Wanita-wanita miskin yang hidup melarat karena keluarga yang terlalu besar, merekalah yang terluka atau mati di tangan tukang abortus gelap.
Yang mempunyai duit lebih mudah menghindari pelecehan seksual atau pemerkosaan dengan naik taksi pada malam hari, lebih mudah luput dari perkawinin tanpa cinta atau dari keganasan rumah tangga, Perempuan kaya malah mendapat untung dari penindasan kaum miskin. Upah rendah yang dibayar kepada TKW Indonesia yang menjadi pembantu rumah-tangga di Hong Kong, misalnya, membuat si majikan lebih kaya lagi. Makanya penindasan perempuan kelihatannya jauh berbeda jika dilihat dari rumah mewah dibandingkan dengan gubuk melarat.
Sudah dari dulu, adanya pertentangan kelas menjadi masalah untuk gerakan emansipasi perempuan. Di Inggeris misalnya, gerakan feminis terpecah setelah Perang Dunia I. Sayap kiri yang dipimpin oleh Sylvia Pankhurst menjadi sosialis dan memperjuangkan hak-hak buruh perempuan di bilangan miskin kota London. Sedangkan ibunya Emmeline Pankhurst dan kakaknya Christobel Pankhurst memusatkan perhatian mereka kepada kepentingan golongan tengah dan menjadi orang sayap kanan.
Demikian pula, gerakan Women's Liberation tahun 1970-an di barat telah terpecah-pecah. Sebagian menjadi sosialis dan/atau tetap radikal, sedangkan sebagian lainnya mancapai karir yang gemilang dan tidak menghiraukan lagi nasib perempuan rakyat kecil.
Untuk mengerti asal-muasal perkembangan ini, kita perlu menganalasa penindasan perempuan dengan lebih mendalam.
Sistem kapitalis membutuhkan dua macam sumber daya. Dari satu sisi membutuhkan modal, seperti pabrik-pabrik, dan kantor-kantor, bank-bank. Dari sisi lainnya memerlukan tenaga kerja yang sehat dan trampil - dan ini mahal. Aparatus negara menyediakan beberapa pelayanan yang penting seperti sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit dsb. Namun sebagian besar dari waktu, upaya dan uang yang diperlukan untuk mereproduksi tenaga kerja baru disediakan oleh keluarga masing-masing.
Inilah kunci pokok untuk mengerti penindasan yang dialami kaum perempuan. Sistem kapitalis mengandalkan pekerjaan tanpa upah yang dilakukan kaum ibu di dalam keluarga, untuk menhasilkan tenaga kerja baru. Segala unsur lain dari penindasan perempuan -- diskriminasi di tempat kerja, stereotip seksual, bahkan pelecehan dan pemerkosaan - berkaitan dengan dan memperkuat peranan rumah tangga ini.
(Di negeri-negeri yang masih sedang berkembang, tentunya ada situasi yang lebih kompleks disebabkan oleh adanya unsur feodal dan pengaruh tradisional lainnya. Padahal penindasan itu muncul sebelum timbulnya sistem kapitalis. Tetapi kapitalisme mengubah segala bentuk penindasan dan memanfaatkannya dengan cara baru.)
Makanya ada dua kesimpulan yang bisa ditarik:
YANG PERTAMA, kalau disimak secara obyektif, penindasan perempuan bukan berasal dari kepentingan kebanyakan laki-laki. Sebaliknya, seorang buruh laki-laki pasti akan beruntung jika upah istrinya dinaikkan. Bila kaum buruh perempuan memperjuangkan gaji yang lebih tinggi, perjuangan tersebut akan memberikan semangat kepada para buruh laki-laki untuk ikut berjuang. Dalam konteks keluarga, kaum laki-laki juga tidak beruntung jika istri-istri mereka harus kerja sampai tenaga mereka terkuras..
Betul, ada banyak laki-laki yang tidak melihat kenyataan ini, dan terus mengajukan prasangka-prasangka yang kolot. Tetapi ada juga banyak perempuan yang menerima prasangka-prasangka tersebut. Ini soal kesadaran, yang bisa berubah dalam konteks perjuangan sosial.
Lain halnya dengan kelas burjuis yang berkuasa (termasuk pemilik modal, pejabat tinggi, jendral-jendral dll, tetapi juga istri-istrinya). Mereka jelas beruntung dari penindasan perempuan rakyat kecil. Selama banyak wanita rakyat jelata bekerja habis-habisan dalam keluarga, para majikan terus mendapatkan tenaga kerja murah, baik dalam bentuk tenaga kerja pabrik/kantor, maupun dalam bentuk pembantu, tukang kebun dll yang begitu menggembirakan hati wanita kaya. Selama diskriminisi terhadap perempuan bertahan di tempat kerja, kaum buruh lebih sulit bersatu untuk memperjuangkan perbaikan nasib, maka kaum majikan beruntung lagi.
YANG KEDUA, strategi yang lazim dipakai oleh golongan feminis di barat, yang berusaha menyatukan semua perempuan melawan kaum laki-laki adalah salah. Meskipun banyak laki-laki dari rakyat kecil masih berprasangka buruk, tetapi keadaan obyektif memuat faktor-faktor yang dapat mendesak mereka untuk membela hak-hak perempuan. Di sisi yang lain, meskipun tidak sedikit perempuan kaya yang bersikap "feminis", tetapi situasi obyektif memuat banyak faktor yang mendorong mereka untuk mentolerir dan bahkan mengiyakan penindasan perempuan rakyat kecil.
Kaum sosialis menganut pembebasan perempuan. Kami bahkan menyokong reform-reform yang hanya meladeni kepentingan perempuan golongan atas dan golongan tengah. Namun pembebasan untuk massa perempuan kelas buruh dan rakyat kecil hanya mungkin bila mereka ikut serta dalam perjuangan kelas yang lebih luas.
Bila sebagai reaksi terhadap penindasan, golongon perempuan tertentu ingin mendirikan kelompok tersendiri di-mana laki-laki tidah boleh berpartisipasi, kami kelompok sosialis jelas membela hak mereka untuk melakukan itu. Tetapi kami menghimbau agar seluruh kelas buruh, dan semua rakyat kecil, bersatu dalam perjuangan melawan segala bentuk penindasan dan eksploitasi.
Kita juga harus melawan penindasan terhadap kaum homoseksual dan lesbian (gay). Kaum gay seringkali dikambing-hitamkan sebagai biang keladi dari masalah-masalah sosial, padahal justru mereka yang menjadi korban.
Penindasan terhadap kaum gay juga berkaitan dengan keperluan sistem kapitalis untuk memproduksi tenaga kerja dan struktur-struktur ideologis lewat keluarga "normal". Orang yang tidak menyesuaikan diri untuk memainkan peranan sebagai laki-laki atau perempuan "normal" dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban sosial. Prasangka ini tercerminkan pula dalam struktur-struktur sosial-budaya, dimana kaum gay dianggap tidak senonoh, dan bisa di-PHK, dipukul, bahkan dibunuh lantaran gaya hidup mereka yang lain.
Sebetulnya kita semua dirugikan oleh situasi ini, karena terpaksa kita harus hidup menurut pola tindak-tanduk yang kelewat sempit (konservatif). Makanya, semestinya kita menyambut dengan antusias munculnya organisasi gay dewasa ini yang memperjuangkan hak-hak mereka.

Tiga Syarat Revolusi

Apalah artinya jika berdirinya sebuah organisasi tanpa gagasan yang jelas, metode yang baik dan tepat, program yang membumi serta tanpa tradisi yang mengakar? Organisasi yang hanya merupakan kumpulan individu-individu dan bertemu pada muara kedangkalan ide, serta metode hanya akan menghasilkan program-program yang tidak jelas. Maka sebatas itu pulalah capaian yang akan didapatinya.

Dalam banyak kajian kiri revolusioner, saat ini secara objektif kaum proletar tumbuh dan menjadi kuat seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Pertanyaannya apakah benar hanya demikian saja? Dan kapan kekuasaan akan berpindah pada kediktatoran proletariat? Trotsky dalam tulisannya Hasil dan Prospek (1906) mengemukakan kekuasaan itu akan beralih tergantung pada relasi kekuatan-kekuatan sosial di dalam perjuangan kelas, pada situasi Internasional, dan pada akhirnya tergantung pada beberapa faktor subjektif, yakni tradisi, inisiatif, dan kesiapan kaum pekerja untuk berjuang.

Beberapa pointer yang bisa kita garis bawahi dari apa yang disampaikan Trotsky bahwa peralihan kekuasaan ke tangan proletariat itu memiliki tiga syarat.

Pertama, relasi kekuatan-kekuatan sosial di dalam perjuangan kelas. Yang dimaksud oleh Trotsky mengenai relasi kekuatan-kekuatan sosial disini adalah perimbangan antar kekuatan-kekuatan sosial serta bagaimana pola hubungan yang terjadi di antara kekuatan tersebut. Yaitu bagaimana kekuatan kelas-kelas di dalam masyarakat baik itu kelas borjuis, kelas buruh dan kelas tani saling berinteraksi dan berdialektika.

Hal ke-dua yang disampaikan Trotsky sebagai syarat beralihnya kekuasaan pada kaum Proletar adalah adanya kondisi yang kondusif dari situasi Internasional. Jelas hal ini sebagai syarat. Perjuangan proletar adalah perjuangan internasional. Dalam beberapa tulisan Lenin mengatakan bahwa kaum buruh adalah kaum yang tidak memiliki negara. Perjuangan proletar adalah perjuangan tanpa batas dan sekat-sekat nasionalisme. Seperti yang disampaikan di atas, bahwa perjuangan kita adalah perjuangan yang berbasis kelas. Perjuangan yang melawan ketidakadilan, melawan kesewenang-wenangan, melawan penghisapan. Perjuangan model ini adalah perjuangan yang tidak bisa dibatasi pada perbedaan letak geografis, perbedaan warna kulit ataupun agama dan keyakinan.

Mengapa hal ini sangat tergantung dengan situasi Internasional? Jawabannya adalah karena Kapitalisme bergerak juga dari ranah ini. Cengkraman sistem yang mereka gunakan juga dengan cara-cara internasionalistik. Globalisasi sudah membuat sistem kapitalis semakin internasional, bahkan inilah tendensi sistem kapitalisme yang sejak lahir terus menyeruak mencari sumber daya alam murah dan pasar. VOC yang menjajah Indonesia selama 350 tahun adalah perusahaan joint-stock kapitalis pertama yang misinya adalah "mencari" (mencuri) sumber daya alam di Hindia Timur. Krisis kapitalisme akan bersifat internasional, dan krisis ekonomi 2008 sudah membenarkan ini lagi, dan krisis internasional ini memukul tiap-tiap negara tanpa pandang bulu. Tidak ada satu negara pun di muka bumi ini yang bisa memisahkan dirinya dari sistem ekonomi kapitalis global, dan oleh karenanya pembelajaran situasi internasional, ekonomi dan politik, akan dapat memberikan kita perspektif revolusi di negara kita dengan lebih lengkap. Tanpa perspektif internasional, perspektif revolusi Indonesia hanya akan setengah matang, dan lebih parah lagi bisa-bisa keliru.

Syarat ketiga dari syarat berpindahnya kekuasaan ke tangan proletariat adalah tergantung pada beberapa faktor subjektif: tradisi, inisiatif, dan kesiapan kaum pekerja untuk berjuang. Syarat ketiga ini adalah faktor subjektif dari kesiapan kaum pekerja. Yaitu kesiapan dalam membangun organisasi yang memiliki tradisi yang benar, yang dapat menginisasi gerakan.

Tentu ini tidak mudah. Seperti yang dipaparkan pada paragraf awal tulisan ini, sebuah organisasi yang tidak memiliki gagasan, metode, program dan tradisi yang kuat sungguh hanya seperti membangun menara pasir di tepi laut. Pondasi yang salah dalam membangun sebuah bangunan akan membawa kehancuran pada bangunan itu sendiri. Ini sia-sia belaka.

Begitu banyak organisasi Kiri di Indonesia yang mengalami kehancuran, perpecahan. Kebanyakan dari mereka tumbuh awalnya tidak berdasarkan pada gagasan yang benar, metode, program dan tradisi yang tepat. Mereka tumbuh berkembang hanya untuk memenuhi capaian-capaian pendek dari keberadaannya. Organisasi yang sudah ribut di awal berdirinya dengan AD/ART, struktur organisasi, program yang berbasis proyek tentu akan menemui kebangkrutan lebih cepat dari apa yang disangka-sangka. Tradisi intrik dalam tubuh organisasi yang dianggap lumrah turut memperlemah gerakan. Tidak peduli dengan organisasi yang mengklaim dirinya sebagai organiasi Marxis atau mengklaim dirinya sebagai organisasi yang berbasiskan perjuangan kelas sekalipun.

Apakah benar berbasis pada perjuangan kelas? Atau jangan-jangan hanya merasa bangga bahwa organisasinya adalah organisasi kiri revolusioner? Gagasannya apa, memakai metode apa, programnya bagaimana, tradisi yang dibangun seperti apa? Perjuangan berbasis kelas yang seperti apa? Atau jangan-jangan salah dalam menganalisa basis kelas dalam berjuang. Ini hal-hal dasar yang harus dijawab. Kekeliruan menganalisa kelas bisa membawa kebangkrutan dan salahnya arah juang.

Banyak aliansi yang dibangun hari ini hanyalah aliansi yang berbasis pada kebanggaan organisasi saja. Kebanggaan saat duduk dalam aparatus dan bendera dengan nama-nama besar sebuah gerakan. Intrik yang ada tidak jauh dari rebutan proyek dari funding, pembiayaan organisasi, klaim massa, dan banyak bersinggungan di “titik pecah” lainnya. Faksi yang ada dalam organisasi terkadang terbuka bahkan yang lebih memalukan dibiarkan terbuka dan dibiarkan dibaca oleh musuh-musuh gerakan.

Apalah gunanya Federasi atau Konfederasi jika sejatinya tidak ada penyatuan gagasan dan tak jelasnya metode perjuangan? Terus membelah diri, terus berintrik, terus ada rapat dalam rapat, trus dibiarkan ada rapat setengah kamar, terus dibiarkan dalam tradisi-tradisi sektarian dalam gerakan. Berintrik tentunya adalah bagian dari tumbuhnya gerakan, tetapi berintrik harus dengan prinsip. Dalam kata lain, perpecahan harus berdasarkan politik. Terlalu banyak perpecahan kiri terjadi tanpa adanya kejelasan politik dan teori, sehingga akhirnya perpecahan dan intrik ini bukannya mempertajam gerakan tetapi justru menumpulkannya.

Lihatlah bagaimana Bolshevik membangun gerakannya, yang menghasilkan kader-kader handal dalam teori dan disiplin dalam prakteknya. Sejarah telah mencatat revolusi Oktober 1917 yang dipimpin oleh Bolshevik sebagai sejarah gemilang sebuah kediktaktoran proletariat yang sejati. Sejarah telah membuktikan bahwa metode Bolshevik dalam pembangunan partai masihlah metode yang paling ampuh. Di seluruh dunia, partai-partai yang menggunakan metode Bolshevik secara historis adalah partai yang paling gigih dan berhasil dalam perjuangannya. Lihatlah Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920an, sebagai partai pelopor perjuangan melawan Belanda. Dan juga Partai Komunis Tiongkok. Terlepas dari kegagalan-kegagalan mereka, yang penyebabnya tidak akan saya jabarkan disini karena ini membutuhkan tulisan-tulisan terpisah yang jauh lebih panjang, metode Bolshevisme adalah metodenya perjuangan buruh karena ia lahir dari perjuangan kelas.

Tan Malaka dalam karyanya Pandangan dan Langkah Partai Rakyat dia menuliskan : “Buruk baiknya partai, cerdas bodohnya partai, rajin malasnya tergantung pada sifat para anggotanya pula! Kepintaran, keyakinan dan ketabahan seluruhnya anggota partai pula. Hendaknya partai menjaga persatuan dengan menjaga kerukunan para anggotanya, ialah dengan jalan berterang-terangan, percaya-mempercayai, maaf-memaafkan, dan bantu-membantu satu sama lain.”

Faktor objektif sudah sangat memenuhi syarat-syarat penumbangan kelas penghisap, tinggal bagaimana kita untuk mengasah diri kita sebagai individu sekaligus yang harus bisa menginisasi munculnya organisasi-organisasi revolusioner yang memiliki kekuatan gagasan, metode, program dan tradisi revolusioner. Selamat Berjuang !!

Sumber: militanindonesia.org

Menyelamatkan Asia: Saatnya Bertindak Radikal

Paul Krugman

Rencana IMF Bukan Saja Gagal Menghidupkan Kembali Ekonomi Asia Yang Bermasalah, Tapi Justru Memperburuk Situasi. Kini Saatnya Menelan Pil Pahit.

7 September 1998

Apa pun yang akan terjadi kemudian, Kejatuhan Besar Asia sudah tercatat dalam buku rekor. Dalam sejarah peristiwa ekonomi, belum pernah ada - tidak pula pada tahun-tahun permulaan the Depression - bagian ekonomi dunia yang demikian besar mengalami kejatuhan yang begitu dahsyat dari masa kejayaannya. Amerika Latin yang pernah menjadi kampiun dalam hal ketidakstabilan ekonomi, kini telah kehilangan gelarnya. Dibandingkan dengan kehancuran Asia, krisis tequila pada 1995 kini tampak seperti ayunan yang tak begitu berarti; dan krisis utang yang pernah begitu menakutkan pada tahun 1980an jadi seperti peristiwa yang biasa-biasa saja.

Lebih lagi, kejatuhan Asia belum mencapai dasarnya: Meskipun mata uang wilayah tersebut tampak berhenti merosot pada saat ini, ekonomi riilnya semakin lemah, bukannya menguat. Hong Kong baru mengumumkan bahwa ekonominya menyusut 2,8% dalam kuartal pertama 1998, resesi terbesarnya sejak Perang Dunia II. Para ekonom memprediksikan bahwa PDB Indonesia akan jatuh ke angka menggemparkan sebesar 15,1% pada tahun ini. Bandingkanlah dengan tahun resesi terburuk di Amerika paska perang - 1982 - ketika ekonomi menyusut sebesar 2,1%. Dan rupanya utang buruk (bad debt) bank Jepang bukanlah $550 milyar, seperti dilaporkan sebelumnya, tapi angkanya lebih telak lagi: $1 trilyun. Dampak negatif dari berita-berita buruk ini baru belakangan saja terasa, salah satu yang tak terlalu parah adalah kecemasan pasar modal AS.

Sudah terdapat banyak tuduhan tentang siapa yang harus disalahkan atas bencana ini. Apakah ini hukuman terhadap dosa-dosa Asia ataukah ulah nakal spekulator jahat? Apakah IMF melakukan yang terbaik dalam situasi yang buruk ataukah ia sesungguhnya menyiram bensin ke api? Argumen-argumen ini memiliki beberapa kebenaran: Mencari tahu siapa yang salah menangani Asia dapat membantu dunia mencegah krisis ini, atau krisis berikutnya, agar tidak semakin meluas. Tapi pertanyaan yang benar-benar penting adalah, Kini apa yang harus dilakukan? Apakah kita - dalam arti IMF, Departemen Bendahara AS, dan negeri-negeri yang sedang kesulitan - tetap berpegang pada Rencana A, strategi yang telah kita jalankan sejauh ini? Ataukah saatnya mencoba Rencana B? Dan lagipula apakah Rencana B itu?

Jawaban singkatnya adalah sudah saatnya mempertimbangkan Rencana B dengan serius. Dan Rencana B sudah cukup jelas - hanya saja tidak seorang pun, termasuk pengritik terbesar Rencana A, hendak membicarakannya secara terbuka. Tapi sebelum kita menuju ke sana, marilah kita mengingat kembali bagaimana kita bisa sampai di sini.

ASIA: APANYA YANG SALAH

Kini, garis besar tentang bagaimana Asia jatuh berantakan sudah cukup banyak diketahui. Setidaknya sebagian, kejatuhan wilayah tersebut adalah hukuman terhadap dosa-dosanya. Kita kini mengetahui hal yang seharusnya telah kita sadari saat masa-masa peningkatan pesat: bahwa ada sisi gelap dari "nilai-nilai Asia", bahwa kesuksesan para pebisnis Asia lebih bergantung bukan pada pengetahuan mereka melainkan kenalan mereka. Kapitalisme kroni secara khusus berarti bahwa investasi yang meragukan (blok kantor yang tak dibutuhkan di luar Bangkok, diversifikasi yang dikendalikan oleh ego para chaebol Korea Selatan) disambut gembira dengan kucuran dana bank lokal, selama peminjamnya memiliki koneksi yang pas ke pemerintah. Cepat atau lambat ini akan mendapat ganjarannya. Bahkan sebelum krisis, ketika bank-bank asing masih memberikan pinjaman dan utang Indonesia diberikan peringkat Baa, tabir yang indah mulai robek: perusahaan Raksasa Korea bermasalah; perusahaan finansial Thailand mulai gulung tikar.

Tapi ekses finansial yang digenjot oleh pengaruh politik dan kekacauan sehabis pesta ini bukan hanya terdapat di Asia - ingat peristiwa simpan-pinjam di Texas? (Texas thrifts) Aspek unik dari ganjaran Asia bukanlah kejahatannya yang serius melainkan hukumannya yang begitu kejam. Yang membuat situasi finansial dari buruk menjadi bencana adalah proses berubahnya kehilangan kepercayaan menjadi kepanikan yang dibesar-besarkan sendiri (self-reinforcing panic). Pada 1996 arus modal yang memasuki negeri Asia yang sedang berkembang berada pada tingkat $100 milyar per tahun; pada paruh kedua tahun 1997 modal tersebut mengalir keluar dengan tingkat yang sama. Tak terhindarkan lagi, dengan pembalikan seperti itu aset pasar di Asia jatuh bebas, ekonominya memasuki resesi, dan kemudian keadaan akan semakin memburuk. Kesimpulannya - yah, marilah kita mengutip laporan Bank for International Settlements pada bulan Juni, sebuah organisasi yang bermarkas di Basel, Swiss, dan yang biasanya tidak berbasa-basi: "Dampak penurunan ekonomi, kejatuhan harga aset, dan krisis perbankan cenderung memperburuk satu sama lainnya karena pemotongan kredit bank mengakibatkan depresi terhadap harga aset dan lebih jauh lagi memperdalam resesi. Ini kemudian menciptakan problem-problem tambahan bagi bank yang dipaksa untuk semakin mengetatkan diri. 'Lingkaran setan' adalah istilah yang sudah terlalu banyak digunakan, tapi itu begitu tepat menggambarkan krisis Asia."

JADI APA YANG MESTI DILAKUKAN?

Pada awal krisis Asia, Stanley Fischer -- seorang ekonom yang murni ahli ekonomi dan juga pejabat tertinggi nomor dua di IMF, memperingatkan dalam sebuah audiensi di Hong Kong tentang "kemungkinan bahwa serangan [spekulatif] akan menjadi ramalan yang diwujudkan sendiri (self-fulfilling prophecies). Ia menguatirkan, contohnya, bahwa serangan yang memaksa devaluasi dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi justru akan melemahkan sistem perbankan. Dengan kata lain, Anda tak dapat menuduh IMF berlaku naif: Para pejabat di sana memahami sejak dari awal bahwa lingkaran setan yang digambarkan oleh BIS dengan sangat baik adalah suatu kemungkinan, dan mereka berupaya sebisa mungkin untuk mencegahnya.

Bekerjasama erat dengan Departemen Bendahara AS (yang orang nomor duanya, tentunya, adalah Lawrence Summers, lagi-lagi seorang ekonom kelas berat), IMF mengambil strategi yang dapat dijelaskan seperti ini:


  1. Pinjamkan uang kepada negeri-negeri yang dalam kesulitan untuk membantu mengangkat mereka dari krisis
  2. Sebagai syarat pinjaman, tuntutlah agar mereka mereformasi ekonominya, menghapuskan ekses terburuk dari kapitalisme kroni.
  3. Desak mereka mempertahankan suku bunga tinggi untuk menarik kapital agar menetap di dalam negeri.
  4. Menanti kembalinya kepercayaan dan berubahnya lingkaran setan menjadi lingkaran kebaikan.


Bahkan secara restropeksi, ini sama sekali bukan strategi yang bodoh. Bayangkan sejenak bila AS tidak memiliki asuransi simpanan, dan ketidak-percayaan terhadap pengelolaan sebuah bank yang besar menyebabkan penarikan pinjaman besar-besaran oleh para nasabah bank. Apa yang akan dilakukan oleh Cadangan Federal? Tentu, ia mungkin akan meminjamkan sejumlah kas kepada bank itu untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya; sebagai syarat pinjamannya, presiden bank tersebut dituntut untuk memecat keponakannya; dan menyuruh bank itu untuk mempertahankan nasabahnya dengan menawarkan tingkat suku bunga yang tinggi kepada mereka. Maka semua orang akan berdoa dan berharap untuk yang terbaik.

Lebih-lebih lagi, strategi ini berhasil saat diterapkan sebelumnya. Pada 1995, Meksiko mengalami sebuah krisis yang, dalam bulan-bulan awalnya, tampak lebih buruk dari kehancuran Asia. Robert Rubin dan kawan-kawan datang menolong Meksiko dengan saluran kredit yang besar; Meksiko bergerak untuk menyelamatkan bank mereka yang goncang; tingkat suku bunga di Meksiko dibumbungkan jauh ke langit; dan semuanya menahan napas. Itu adalah tahun yang buruk bagi ekonomi Meksiko, tapi akhirnya semua berjalan baik: Uang mulai mengalir kembali, tingkat suku bunga jatuh, dan setelah jatuh 6,2% dalam tahun pertama, Meksiko menunjukan pemulihan yang secara mengesankan berlangsung cepat.

Dengan kata lain, wajar bila mengupayakan Rencana A. Anda bahkan bisa berkata bahwa itu tak bisa dihindarkan: dengan logika situasi politik, bukan sekedar ekonomi, dan dengan kesuksesan strategi serupa di Meksiko hanya dua tahun sebelumnya, bagaimana mungkin IMF dan Departemen Bendahara tidak mencoba mengulang kembali kemenangan mereka sebelumnya?

PARA PENGRITIK

Walaupun respon IMF terhadap krisis Asia sudah dapat diprediksi, itu bukan berarti bahwa mereka tidak menemui penentangan. Sejak awal sudah ada beragam ketidaksetujuan, yang menjadikan citra diri IMF di hadapan publik babak-belur. Dan beberapa pengritik bisa jadi memang ada benarnya - tapi hanya sebagian dari mereka saja, karena terdapat lebih banyak perbedaan pendapat di antara para pengritik, dibandingkan dengan IMF. Kasarnya, setengah dari mereka berasal dari kubu uang-keras (hard-money): orang yang meyakini bahwa IMF menyebabkan krisis dengan mendesak negeri-negeri untuk mendevaluasi di saat mereka seharusnya mempertahankan nilai tukar mata uang yang ditetapkan. Sebagian lainnya dari kubu uang-lunak (soft-money), yang meyakini bahwa IMF menaruh terlalu banyak penekanan pada stabilitas mata uang. Tidak bisa kedua-duanya benar.

Sebenarnya, beberapa dari mereka bisa dipastikan salah. Serangan para uang-keras terhadap Rencana A - serangan yang utamanya dilancarkan melalui lembaran majalah Forbes dan Wall Street Journal, dan oleh kaum konservatif penganut sisi-persediaan (supply-side conservatives) - setara dengan mengatakan bahwa negeri-negeri Asia harus mempertahankan nilai tukar mata uangnya dengan pengorbanan apa pun. Namun, melakukan hal ini di hadapan pelarian kapital besar-besaran, akan berarti secara drastis menurunkan kuantitas uang dalam sirkulasi - menciptakan tingkat suku bunga yang tingginya ekstrim, jauh lebih tinggi dari yang perlu diterapkan oleh negeri-negeri itu. Dan bank sentral yang tak dapat mencetak uang karena harus mempertahankan nilai-mata-uang-tetap tidak dapat bertindak sebagai pemberi pinjaman terakhir, yang menyediakan kas bagi bank-bank lokal yang terancam oleh penarikan besar-besaran. (Argentina, yang 'dewan mata uang'-nya dan kebijakan satu-peso/satu-dolar nya dipuji oleh kaum konservatif, hanya dapat menyaksikan tanpa daya ketika sektor perbankannya mulai berprotolan pada 1995; untungnya Bank Dunia datang menolong.)

Kalau Anda menanyakan pengritik dari kubu uang-keras kenapa mereka meyakini rencana mereka akan berhasil, kenapa itu tidak justru menyebabkan bencana yang lebih buruk, satu-satunya jawaban yang Anda dapatkan adalah jika saja Thailand tidak mendevaluasi, atau jika Indonesia mendirikan 'dewan mata-uang', tingkat kepercayaan akan kembali dan semuanya akan berjalan baik. Ya, mungkin - tapi itu benar-benar argumen yang berputar-putar. Lagipula, rencana ekonomi apa pun bagi Asia akan berhasil bila dalam sekejap berhasil mengembalikan kepercayaan. Kenapa tidak melangkahi saja pembentukan dewan mata uang dan menyuruh orang untuk lebih sering senyum?

Dan bagi mereka yang meyakini bahwa krisis ini tidak akan terjadi bila kita menerapkan emas sebagai standar, ingatlah bahwa terakhir kalinya sebagian besar mata uang utama dipatok ke emas adalah pada tahun 1929...

Pengritik IMF dari kubu uang-lunak, seperti Jeffrey Sachs dari Harvard - yang meyakini bahwa penekanan terhadap stabilitas mata uang seharusnya dikurangi - memiliki alasan yang lebih baik. Mereka berargumen - dengan tepat - bahwa tingkat suku bunga tinggi yang dituntut IMF terhadap negeri-negeri itu akan menyebabkan resesi yang parah dan tekanan finansial, dan sebagai akibatnya bahkan bank dan perusahaan yang sehat pun akan pada akhirnya runtuh. Jadi daripada mendesak agar negeri-negeri itu meningkatkan tingkat suku bunga untuk mempertahankan mata uang mereka, mereka meyakini bahwa IMF seharusnya menyarankan negeri-negeri itu untuk menjaga suku bunga yang rendah dan mencoba untuk menjaga pertumbuhan ekonomi riil mereka.

Saran itu kedengarannya cukup baik, jadi penting untuk memahami kenapa orang-orang pintar seperti Fischer dan Summers tidak menurutinya. Pertama-tama, cara penyampaian saran tersebut - yang dibungkus tuduhan-tuduhan yang kejam bahwa IMF penuh kerahasiaan dan tidak kompeten - tidaklah membantu. Lebih penting lagi, walau begitu, para pengritik dari kubu uang-lunak belum pernah menjelaskan apa yang seharusnya terjadi pada nilai tukar mata uang. Pada akhir 1997, won Korea kehilangan separuh nilainya dalam waktu beberapa minggu. Tidakkah itu akan jatuh lebih jauh lagi, bahkan mungkin jatuh bebas, bila Korea tidak menaikkan tingkat suku bunganya? Tidakkah itu beresiko memutar hiperinflasi - termasuk dengan segera membangkrutkan bank dan perusahaan yang memiliki utang dolar yang besar?

Pertanyaan-pertanyaan ini belum mendapat jawaban yang jelas. Jeff Sachs dalam beberapa kesempatan seolah menyarankan bahwa penurunan tingkat suku bunga akan memperkuat, bukannya melemahkan, mata uang Asia - bahwa walaupun investor akan menerima imbalan lebih kecil dari memegang won atau baht, prospek perbaikan keadaan ekonomi riil akan - Anda bisa tebak - mengembalikan kepercayaan. Dalam lain kesempatan ia tampak sekedar berargumen bahwa meskipun mata uang akan jatuh, mereka tidak akan jatuh begitu jauh, dan kerusakan yang ditimbulkannya kecil. Ya, mungkin - tapi setidaknya dalam musim gugur yang Rencana A memberikan taruhan yang lebih baik daripada itu.

Maka berjalanlah dengan Rencana (A). Tapi keadaan tidaklah membaik.

KENAPA RENCANA (A) TIDAK BERHASIL

Dalam musim gugur kemarin, tidak ada yang menyangka bahwa Tahun Satu dari krisis Asia akan lebih buruk daripada tahun 1995 di Meksiko. Tapi begitulah kenyataannya: Indonesia karam, dan hanya ada sedikit cercahan cahaya bahkan di negeri-negeri klien IMF yang paling patuh. Apa yang salah? Ini sebagian daftarnya:

Kesalahan IMF. IMF jelas melakukan kesalahan dalam melihat detail - dan beberapa detail ini cukup besar. Ia mendesak agar negeri-negeri tersebut memotong pengeluaran dan menaikkan pajak, sebuah kebijakan deflasioner yang tak diharapkan dan telah memperburuk resesi dan situasi.

Terlalu banyak didongkrak (leverage) [dengan utang]. Meksiko mampu melewati satu tahun penuh dengan tingkat suku bunga setinggi 75% dan tetap bertahan. Ekonomi Asia, rupanya, lebih rapuh karena korporasi mereka didongkrak lebih tinggi. Bila utang Anda besarnya empat atau lima kali ekuitas Anda - rasio yang tidak pernah terdengar di Barat namun menjadi praktek standar di Korea Selatan - tidak butuh waktu lama bagi resesi plus tingkat suku bunga tinggi untuk menyapu Anda.

Jepang. Ekonomi terbesar-kedua di dunia - sebuah negeri dengan pemerintah yang stabil, tanpa utang luar negeri, dan tanpa inflasi - seharusnya dapat menjadi lokomotif bagi tetangganya, sebagaimana halnya AS bagi Meksiko. Justru sebaliknya, Jepang sangat sering menjadi bagian dari permasalahan.

Bagi faktor-faktor ini, dan mungkin bagi alasan lainnya yang belum kami pahami, tahun yang lalu nyaris tak terbayangkan buruknya. Memang benar, ayunan mata uang yang menggila di tahun lalu telah surut dan kini nilai mata uang telah cukup stabil sehingga beberapa pemerintah Asia berupaya memotong sedikit tingkat suku bunganya, tapi tingkat suku bunga ini pun tetap sangat tinggi untuk memulai kembali ekonomi mereka yang terobrak-abrik. Pada saat yang sama pencekikan ganda dari tingkat suku bunga dan ekonomi yang tertekan dengan pasti menyeret perusahaan-perusahaan yang bahkan memiliki pengelolaan terbaik menuju kebangkrutan.

Jadi apa yang tersisa dari Rencana A? Ya, Korea dan Thailand berlanjut dengan pembersihan bank menurut garis penyelamatan simpan-pinjam Amerika (savings-and-loan rescue). Ini tentunya hal yang baik - tapi sama sekali belum jelas kenapa itu akan membantu mendorong pemulihan jangka-pendek. (Kecuali - coba Anda tebak lagi - itu mengembalikan kepercayaan.) Tapi, dengan begitu dalamnya tingkat depresi ekonomi negeri-negeri itu, reformasi bank seperti mengejar target yang bergerak: pinjaman yang dinilai baik (good loans) berubah menjadi buruk ketika Anda membaca tulisan ini. Selain dari itu, rencana tersebut seperti ber-degenerasi menjadi menanti Godot: mengulur waktu dengan harapan hal yang baik akan pada akhirnya terjadi.

Dan mungkin saja. Mungkin Perdana Menteri Jepang yang baru akan membuat dunia kagum dengan menjalankan rencana stimulus massif yang akan menyelamatkan bukan saja Jepang, tapi seluruh wilayah tersebut. Mungkin akan terjadi pergeseran spontan dalam sentimen investor, dan uang akan berpindah dari saham Internet menjadi surat-utang Asia. Mungkin - ya, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan dengan serius Rencana (B).

APA ITU RENCANA (B)?

Mereka yang dari kubu uang-keras secara mengejutkan cukup membisu dalam menawarkan obat bagi Asia: Mereka terkadang mengeluarkan deklarasi bahwa ini semua tak akan terjadi bila saran mereka dijalankan, tapi mereka sepertinya tidak memberikan saran apa pun tentang apa yang kini harus dilakukan. Para ekonom yang bertipe uang-lunak lebih punya konsep: Seperti biasa, mereka menuntut negeri-negeri Asia harus memotong tingkat suku bunga agar memiliki kesempatan untuk pulih. Dan mereka barangkali benar. Problemnya adalah alasan yang pada awalnya menjadi penolakan terhadap pengurangan tingkat suku bunga kini masih berlaku. Sebagaimana Stan Fischer baru-baru ini menjelaskan, "Saya tak bisa percaya bahwa orang-orang yang serius meyakini bahwa tanpa menaikkan suku bunga untuk sementara waktu, kita dapat menanggulangi problem" kejatuhan mata uang. Pada akhir Juni, Bob Rubin melakukan tur ke Asia mendesak negeri-negeri untuk mempertahankan kebijakan uang-ketat mereka, mungkin kuatir bila mereka tidak melakukan itu, mata uang wilayah tersebut akan jatuh bebas.

Pendeknya, Asia sedang terjepit: Ekonominya tidak bisa kemana-mana, tapi mencoba untuk melakukan sesuatu yang besar untuk menggerakannya beresiko memprovokasi gelombang baru pelarian kapital dan krisis yang lebih buruk. Akibatnya, kebijakan ekonomi wilayah tersebut menjadi sandera ulah nakal para investor. Adakah jalan keluarnya? Ya, ada, tapi solusi ini sangat tidak biasa, sangat terstigmatisasi, sehingga hampir tak ada orang berani menyarankannya. Kata-kata yang tak bisa disebutkan ini adalah "kontrol pertukaran." (exchange controls)

Kontrol pertukaran biasa menjadi respon standar negeri-negeri yang mengalami krisis neraca-pembayaran (balance-of-payment). Detailnya beragam, tapi biasanya mereka berjalan seperti ini: Para eksportir diharuskan menjual pendapatan mata uang asing mereka kepada pemerintah dalam nilai tukar tetap (fixed exchange rate); mata uang tersebut kemudian akan dijual dengan nilai yang sama untuk pembayaran ke luar negeri yang telah disetujui, umumnya untuk impor dan membayar utang. Bila beberapa negeri mencoba menjadikan transaksi pertukaran-uang ilegal, negeri-negeri lainnya membolehkan pasar paralel. Yang mana pun caranya, ketika sistem tersebut diterapkan, sebuah negeri tidak harus menguatirkan bahwa pemotongan tingkat suku bunga akan menyebabkan kejatuhan mata uang. Mungkin itu akan menyebabkan turunnya nilai tukar yang terjadi paralel, tapi tidak akan mempengaruhi harga-harga impor atau neraca perusahaan dan bank.

Bila ini kedengarannya terlalu gampang buat Anda, Anda benar. Kontrol pertukaran memiliki banyak permasalahan dalam prakteknya. Di samping beban berkas-berkas dan birokrasi yang terlibat, ia juga menjadi - kejutan! - sasaran penyelewengan: Para eksportir mendapat insentif untuk menyembunyikan bukti-bukti pertukaran mata uang asing mereka; para importir, insentif untuk memalsukan bukti pembayaran mereka. Tiap negeri yang telah mencoba mempertahankan kontrol pertukaran selama periode yang lama pada akhirnya mendapati bahwa akumulasi distorsinya tidak dapat ditolerir, dan terdapat konsensus virtual di antara para ekonom bahwa kontrol pertukaran tidak dapat berjalan baik.

Tapi ketika Anda menghadapi bencana yang kini terjadi di Asia, pertanyaannya haruslah: tidak berjalan baik dibandingkan apa? Setelah Meksiko menerapkan kontrol pertukaran selama krisis utang tahun 1982, itu berjalan sepanjang lima tahun dengan ekonomi stagnan - suatu hasil yang buruk, tapi bila PDB Anda menyusut hingga 5%, 10%, atau 20%, stagnan terlihat seperti perbaikan yang besar. Dan renungkanlah Tiongkok saat ini; suatu negeri di mana kapitalisme kroni-nya membuat Thailand terlihat seperti Swiss , dan para bankirnya membuat anaknya Suharto terlihat seperti J.P. Morgan. Kenapa Tiongkok tidak sedikit pun terpukul separah tetangganya? Karena ia mampu memotong, bukannya menaikkan, tingkat suku bunga dalam krisis ini, selain mempertahankan nilai tukar tetap; dan alasan dari kenapa ia mampu melakukan itu adalah karena ia memiliki mata uang yang tak dapat dikonversikan, a.k.a. kontrol pertukaran. Kontrol ini seringkali dilangkahi dan menjadi sumber korupsi yang besar, tapi itu masih dapat memberikan Tiongkok keleluasaan kebijakan yang cukup besar yang dengan mati-matian diidam-idamkan oleh negeri Asia lainnya.

Pendeknya, Rencana B perlu melepaskan untuk sementara waktu urusan dan upaya mengembalikan kepercayaan investor internasional dan memaksa pemutusan hubungan antara tingkat suku bunga domestik dan nilai tukar mata uang. Kebebasan kebijakan yang dibutuhkan Asia untuk membangun kembali ekonominya akan jelas-jelas memiliki harganya sendiri, tapi dengan semakin dalamnya kejatuhan, harga tersebut mulai terlihat semakin pantas untuk dibayar.

Anda tak perlu menyetujui bahwa saat ini adalah waktunya mengadopsi Rencana B - atau bahkan bahwa itu akan diterapkan - untuk mengakui bahwa hal seperti itu adalah alternatif yang jelas dibandingkan strategi menunggu-dan-berharap yang berjalan saat ini. Tapi tetap saja sangat susah menemukan seorang pun, bahkan di antara para pengritik IMF, untuk membicarakannya. Bagaimana bisa?

NON-KONSPIRASI BISU

Bukan kejutan bila IMF dan Departemen Bendahara AS belum mengatakan apa pun mengenai alternatif strategi Asia saat ini. Para pemain kuncinya bukannya bodoh atau doktriner, tapi karena ini persoalan politik, maka mereka tentunya harus selalu menyatakan keyakinannya terhadap obat keras apa pun yang mereka anjurkan. Lebih lagi, bahkan sedikit saja menyinggung kemungkinan tentang kontrol pertukaran dapat dengan sendirinya menyebabkan pelarian kapital dan memaksa negeri-negeri Asia untuk menaikkan tingkat suku bunga, bukannya menurunkannya. Dengan kata lain, Rencana B seperti sebuah devaluasi: Pejabat selalu dengan tegas menyangkal bahwa mereka mempertimbangkan kemungkinan semacam itu hingga pada saat mereka melakukannya.

Kebijakan yang persiapannya tidak bisa diketahui publik ini (gag rule) bukan saja berlaku bagi para pejabat tapi juga siapa pun yang diasosiasikan dengan strategi itu: para bankir, institusi investasi besar, dan seterusnya. Ada juga semacam tekanan moral secara pribadi di antara mereka yang tak berperan dalam kebijakan itu tapi walau demikian secara umum simpati dengan pembuat kebijakan dan dilemanya. Contohnya, renungkanlah situasi yang dihadapi oleh seorang profesor ekonomi yang sesekali merangkap jurnalis dan telah mengenal Fischer dan Summer sepanjang masa profesionalnya. Ia mengharapkan hal-hal yang baik bagi mereka, dan memahami kenapa mereka pada awalnya mencoba Rencana A. Sebagaimana Anda bayangkan, ia akan sangat sungkan untuk tampil di depan umum untuk menyatakan keraguannya - katakanlah, dengan menyarankan dalam sebuah majalah bisnis bahwa sudah saatnya untuk Rencana B - kecuali ia cukup benar-benar yakin bahwa Rencana A telah menemui jalan buntu.

Yang mengejutkan adalah baik para pengritik IMF di Barat maupun di Asia sendiri telah bicara banyak tentang bagaimana memotong tingkat suku bunga tanpa menyebabkan mata uang jatuh bebas. Lagi-lagi, beberapa dari mereka sangatlah pintar, dan kebutuhan untuk sementara wkatu beralih ke kontrol pertukaran pastinya pernah terlintas di benak mereka. Kenapa tidak katakan saja? Dicurigai bahwa pertimbangan jiwa dagang mungkin memainkan peran. Memotong tingkat suku bunga terdengar sangat menarik; menerapkan kontrol pertukaran, dengan reputasinya yang sudah sepantasnya tidak mengundang selera, tidaklah demikian; jadi mungkin yang perlu dilakukan adalah menekankan sisi positifnya dan nanti saja menguatirkan akibatnya yang tak mengenakkan.

Dan bagi Asia sendiri, karena nasib baik mereka tiba-tiba dijungkir-balikkan, maka mungkin ini semua terlalu banyak untuk dikunyah sekaligus. Tak sampai setahun lalu mereka adalah ekonomi masa depan; untuk mengakui bahwa mereka harus membalikkan waktu dan menerapkan sejenis tindakan darurat yang diadopsi oleh Amerika Latin pada tahun 1980an mungkin begitu memalukan sehingga belum bisa mereka terima.

Dapatkah Anda benar-benar menyalahkan mereka? Bila bangsa-bangsa Asia benar-benar mengadopsi pertukaran mata uang, maka mereka harus bersiap-siap melakukan perjalanan yang lebih penuh tantangan. Hilanglah kesempatan menarik investasi asing yang baru. Pasar finansial barangkali akan ambruk lagi. Tapi kerusakannya, meskipun menyakitkan, hanya akan sementara. Seiring menurunnya suku bunga, ekonomi lokal pada akhirnya akan pulih, kepercayaan akan kembali lagi (yang sebenarnya!), dan kontrol pertukaran yang mengganggu itu pun bisa dihilangkan - diharapkan untuk selamanya.

Tapi bila Asia tidak bertindak segera, kita dapat menyaksikan skenario Depresi yang sesungguhnya - semacam kejatuhan yang 60 tahun lalu memporak-porandakan masyarakat, mendestabilisasikan pemerintah, dan akhirnya berujung pada perang. Situasi ekstrim menuntut tindakan ekstrim; saatnya membicarakan Rencana B.

Sumber: Nefos.org

Krisis Kapitalisme Finansial; Tantangan Bagi Kaum Kiri

Yayasan Rosa Luxemburg

Dunia baru neoliberalisme yang begitu percaya diri kini tergeletak di tengah reruntuhan. Kekayaannya rupanya ditopang oleh perampokan, kebohongan dan penipuan. Kaum kiri berada dalam situasi yang baru. Tanpa mentransformasi dirinya dan mengembangkan kapasitasnya untuk melakukan aksi yang tepat dalam masa-masa ini, ia akan menyia-nyiakan untuk jangka waktu yang panjang segala kesempatan untuk menjadi suatu kekuatan sosial, ekologis, demokratik dan perdamaian yang mengedepankan transformasi sosial yang melampaui kapitalisme. Kertas ini, yang dipresentasikan di sini dalam format yang singkat, bertujuan untuk berkontribusi dalam diskusi tentang strategi Kiri yang memperbaharui dirinya dalam krisis neoliberalisme.

Neoliberalisme dalam Krisis

Komunitas yang menderita penindasan, rasa tak aman, dan dijarah; diharuskan membayar tagihan dari tigapuluh-tahun lebih pesta pora redistribusi kekayaan dari bawah ke atas, dari publik ke swasta. Jutaan pekerja bukan hanya kehilangan pekerjaannya, tapi juga rumah dan pensiunnya. Krisis finansial terkait erat dengan siklus krisis ekonomi dan habisnya lahan pertumbuhan bagi masyarakat yang egois, serta bagi revolusi teknologi informasi. Pada saat bersamaan, pemanasan global mengakibatkan meledaknya biaya dan dirampasnya fondasi kehidupan ratusan juta manusia. Krisis-krisis ekonomi yang saling kait mengait satu dengan lainnya memberikan ancaman berupa penguatan jerat-jerat represi dan kompetisi serta memfasilitasi penyempurnaan sistem eksploitasi neo-kolonial.

Respon Neoliberal terhadap Krisis Akumulasi-Berlebih (Over-Accumulation)

Krisis kapitalisme finansial neoliberal pecah di pusatnya dan memiliki penyebab yang sistemik: ia dipicu oleh kekuasaan bidang finansial yang memerintah dirinya sendiri sehubungan dengan bidang-bidang ekonomi lainnya, dan oleh penyertaan semua bidang sosial ke dalam bisnis spekulatif finansial yang berada di luar jangkauan yang dimungkinkan oleh organisasi sosial atau negara.

Secara fundamental, di hadapan hubungan-hubungan kekuatan riil, berbagai macam cara untuk mengatasi krisis ekonomi saat ini masih dapat dirumuskan dan sedapat mungkin perlu dilihat dari perspektif historis. Tiap-tiap jalan ini memiliki karakter politik dan tidak muncul secara spontan dari ekonomi. Mereka mengharuskan dimensi negara yang aktif. Akan menjadi bencana bila krisis ekonomi berpasangan dengan keruntuhan dimensi negara yang seperti itu.

Surplus kapital dapat diupayakan untuk dialirkan ke area-area investasi yang baru. Kemungkinan saat ini yang sama sekali tak bisa dilupakan adalah juga kebijakan inflasi yang dihubungkan dengan ketegangan sosial dan internasional yang ekstrim. Keduanya - pembukaan ladang akumulasi baru atau devaluasi kapital - dapat berjalan berdampingan. Bila kecenderungan akumulasi kapital berlebih saat ini tidak dihentikan, semakin menumpuklah bahan peledak yang akan menciptakan krisis finansial, ekonomi dan sosial.

Krisis Sosial Kapitalisme Finansial dan Kebutuhan Akan Alternatif

Apakah krisis saat ini akan menjadi krisis sistemik merupakan pertanyaan yang belum terjawab. Sebagai krisis struktural kapitalisme, walau demikian, ia dalam banyak hal merupakan krisis sosial kapitalisme.

Pertama: berkat krisis terhadap cara-cara radikal dalam meregulasi pasar, yang berwujud menjadi krisis finansial; ideologi neoliberalisme telah terguncang.

Kedua: neoliberalisme telah mengedepankan stuktur yang tak mampu bertahan. Barang-barang yang sangat dibutuhkan untuk kehidupan bermartabat bagi manusia, diproduksi secara sangat tidak memuaskan. Krisis saat ini mendorong sebagian besar masyarakat global menuju keadaan yang semakin tak aman dan berujung pada pemberontakan oleh mereka yang paling menderita dalam wilayah pinggiran di dalam maupun luar negeri. Protes dan perlawanan terbentuk di semua tingkat, masih terfragmentasi dan banyak yang tak memiliki arah yang jelas, namun bertumbuh besar.

Ketiga: bentuk-bentuk pemerintahan demokratik telah diterapkan di banyak negara dalam dua puluh tahun terakhir. Pada saat bersamaan, basis sosial, ekonomi dan budaya dari demokrasi mengalami pengikisan.

Keempat: kapitalisme neoliberal juga telah menyia-nyiakan legitimasinya dalam wilayah keamanan domestik dan luar negeri. Dalam perang Irak, klaim kaum imperialis yang hendak menstrukturkan tatanan di tiap wilayah di dunia menurut paradigma Barat dengan kekerasan militer ketika metode lainnya tidak memungkinkan, kini terbukti gagal. Pembelanjaan untuk persenjataan dan perang membuat hilangnya pendanaan untuk pembangunan negara-negara Selatan dan layanan publik bahkan di negeri-negeri kaya.

Orientasi Baru Kekuatan-kekuatan Sosial

Berbagai macam kekuatan kini sedang melakukan proyek-proyek, tendensi-tendensi, dan skenario bagi pendirian kembali dan/atau pembangunan dominasi kapitalis borjuis. Seperti halnya krisis Fordisme dari tahun 1968 dan setelahnya, berbagai krisis saling bertemu dalam satu momentum yang disambut dengan intensifikasi mekanisme regulasi yang lama, meskipun sesuatu yang baru telah mulai muncul. Demikian pula tendensi-tendensi yang disebutkan di bawah ini; mereka dapat ditemukan dalam neoliberalisme, namun pada saat bersamaan perkembangannya mengarah ke bentuk yang lebih jauh dari pada itu.

(A) Intervensionisme Baru oleh Negara

Para penguasa bereaksi terhadap krisis dengan secara mendadak dan cepat mengubah kebenciannya terhadap negara - yang puluhan tahun lamanya - menjadi intervensi negara yang massif. Padahal dalam kenyataannya, negara secara reguler berperan aktif dalam kapitalisme neoliberal.

Tindakan penyelamatan negara juga menyertakan unsur-unsur konsensus - meskipun sangat terbatas - untuk mengamankan dukungan kelompok sosial yang berpendapatan rendah, seperti dibatasinya pendapatan kelas manajer dan bahkan mempertimbangkan partisipasi negara dalam perusahaan-perusahaan industri. Paket penyelamatan bank disusul dengan perangkat program-program anti-siklus oleh negara. Dalam Uni Eropa, strategi Lisbon, dengan segala permasalahannya, masih dipertahankan.

(B) Regulasi Pasar Finansial dan Perjuangan untuk Bretton Woods Baru

Kini masa depan sistem finansial global menjadi pusat perdebatan antara, di satu sisi, kekuatan-kekuatan restoratif yang hendak menggunakan negara dan keuangannya untuk mendirikan kembali tatanan lama, serta para "penjudi krisis" yang mencoba mengambil keuntungan dari krisis; sementara di sisi lain terdapat inisiatif reformis yang jelas hendak melangkah meninggalkan status quo. Penyudahan riil terhadap neoliberalisme, walau demikian, belumlah terlihat.

(C) Kebijakan 'New Deal' yang Baru

Dengan diperbaharui dan dibangunnya wilayah publik melalui program-program investasi dalam infrastruktur publik, pendidikan dan sistem kesehatan serta penciptaan lapangan kerja di cabang-cabang tersebut, kelompok tertentu seputar Presiden Obama mencoba untuk menebus kejatuhan ekonomi AS dan menangani krisis reproduksi dan pekerjaan serta memberikan tawaran konsensus baru kepada kelompok-kelompok sosial bawah. Kebijakan 'New Deal' yang baru dimaksudkan memberikan pengkondisian baru terhadap kondisi umum reproduksi kapital.

(D) Kebijakan 'New Deal' Hijau

Kebijakan 'New Deal' yang hijau menyertakan inisiatif dan subsidi yang massif oleh negara untuk transisi (transformasi) menuju corak produksi 'ekologis' yang membuka lahan-lahan baru bagi akumulasi kapital dan mencari kesempatan-kesempatan investasi (komodifikasi lebih lanjut terhadap sumber daya alam di bidang keragaman hayati atau teknologi genetika; teknologi ekologis untuk meningkatkan efesiensi produksi dan penghematan energi). Investasi dan kemungkinan spekulasi yang baru membuka pasar-pasar baru dalam sertifikasi atau perdagangan emisi dan konsumsi ekologis. Perlindungan alam dan lingkungan hidup menjadi komoditas tersendiri, yang membatasi kemungkinan penuntasan krisis ekologis. Kebijakan 'New Deal' hijau dengan begitu bukanlah solusi terhadap krisis ekologi; melainkan suatu upaya untuk mengelaborasikannya dalam pengertian membangun kembali perluasan akumulasi dan hegemoni yang menyertakan kelompok-kelompok oposisi progresif dan kepentingan arus bawah.

(E) Tujuan-tujuan Milenium dan Perjuangan untuk Tatanan Dunia yang lebih adil

Bencana global atau kerjasama global - tendensi menuju kerjasama kapitalisme global semakin diintensifkan di bawah tekanan-tekanan alternatif ini.

Pertanda besar tentang kerjasama pengurangan kemiskinan di wilayah luas di dunia adalah keputusan 8 Tujuan Milenium dalam KTT Milenium di PBB pada September 2000. Langkah-langkah pelengkap disepakati sebelum dan setelah konferensi tersebut. Namun, realitasnya dalam negeri berkembang menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam kerjasama melawan kemiskinan.

Tendensi-tendensi menuju kerjasama internasional berdampak pada politik lingkungan hidup global. Dalam menit-menit terakhir negosiasi, AS, yang masih di bawah kepresidenan Bush, merasa dipaksa menyetujui usulan kompromis dalam konferensi di Bali pada Desember 2007, yang membuka jalan bagi pengawasan terhadap tindak lanjut Kyoto. Komponen ekologi dalam rangkaian program Obama mengonfirmasi hal itu.

(F) Munculnya beragam luas variasi dan kompetisi pembangunan paska-neoliberal

Konsensus Washington telah terdeligitimasi sebelum krisis; setelah krisis ia akan sepenuhnya lenyap. Baik AS maupun Eropa sudah tidak bisa menentukan aturan mainnya sendiri, konsensus transnasional pun sudah tak terlihat lagi.

Di Amerika Selatan, gerakan sosial yang kuat telah menjengkelkan pemerintahan; pemerintahan kiri-tengah telah berkuasa; pendekatan politik dan ekonomi partisipatif yang berdasarkan solidaritas telah didirikan; dan gerakan-gerakan penduduk asli telah mendesakkan cara-cara baru dalam menangani persoalan representasi, kehidupan publik dan hak milik.

Juga di India, gerakan yang kuat telah terbentuk, di antara kaum tani, kaum tak bertanah, "kaum sudra" dan jaringan-jaringan yang kritis terhadap globalisasi.

Bahkan lebih jelas lagi, kapitalisme negara di Tiongkok atau kebijakan investasi Negara-negara Teluk berupaya - walau atas inisiatif penguasa - untuk meletakkan dinamika kapitalis dan pembangunan yang dikendalikan negara, dengan dibarengi pembukaan selektif, ke dalam hubungan yang berbeda, dengan begitu menentukan secara (lebih) independen masa depan negeri-negeri mereka.

Di Skandinavia, meskipun terdapat hegemoni neoliberal, elemen-elemen jenis kapitalisme lainnya masih dipertahankan.

Secara internasional, di dalam WTO terbentuk G20+ sebagai kumpulan longgar negeri-negeri "dunia Selatan" untuk menghadapi kekuatan negosiasi Eropa, AS, dan Jepang serta untuk memperkuat posisi "dunia Selatan." Apakah perkembangan ini akan mengarah pada pembentukan blok kapitalis baru dengan ambisi-ambisi hegemonik politik atau imperialnya tersendiri, hal ini belum jelas.

Sebagai penyeimbang terhadap institusi-institusi transnasional seperti IMF, World Bank atau WTO, dikedepankan proyek-proyek integrasi regional yang melangkah lebih jauh seperti Mercosur atau ALBA di Amerika Latin; kerjasama antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan atau negara-negara ASEAN secara perlahan diperdalam; dan bank pembangunan regional seperti Banco del Sur telah didirikan.

Meski demikian, hal ini biar bagaimana pun tidak boleh luput dari perhatian: rakyat Afrika semakin terperosok dan secara massif berhadapan dengan tuntutan-tuntutan perdagangan bebas. Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals belum tercapai.

(G) Otoriterianisme Baru

Selama bertahun-tahun, semakin terlihat pergeseran kelompok-kelompok sosial tertentu ke arah kanan. Memburuknya kondisi lapangan kerja dan kehidupan sehari-hari, serta menipisnya lapisan masyarakat yang disebut kelas menengah, berhubungan dengan menguatnya batas-batas antara mereka yang terpinggirkan dan mereka yang diistimewakan, antara pandangan pendidikan dan pelayanan yang otoriter maupun intensifikasi politik dan keterpinggiran migrasi. Dengan direbutnya kekuasaan negara oleh pemerintahan-pemerintahan yang jelas-jelas sayap kanan, terdapat upaya membentuk konsensus sosial di balik tabir sentimen nasionalistik antara lapisan masyarakat atas dan bawah.

Dalam politik luar negeri, kebijakan imperialis, perang melawan teror ditekankan sebagai budaya perang dan dihubungkan sebagai intensifikasi politik keamanan dan pengendalian. Politik pengungsi dan migrasi di Uni Eropa diarahkan untuk keuntungan ekonomi dan memperlakukan manusia sebagai "resiko keamanan". Tindakan-tindakan represif diterapkan secara intensif untuk melawan posisi-posisi oposisi dan juga dalam kebijakan sosial: penguatan dan perluasan polisi dan "hukuman bagi rakyat miskin" diupayakan untuk menjamin asimilasi mereka dan mencegah perlawanan mereka.

Untuk proyek hegemonik mereka, otoriterianisme tentunya tidak memadai, karena daya tariknya dan potensi ekonominya tetap terbatas. Seperti halnya tindakan-tindakan kediktatoran hanya dapat digambarkan sebagai tendensi dalam suatu proyek hegemonik lainnya atau dalam ruang yang tertentu dan terbatas, maka otoriterianisme dan bahkan unsur-unsur politik yang menyerupai fasisme hanya dapat memberikan dampaknya sebagai penyokong proyek lainnya, sebagai pendukungnya.

Apa yang harus dilakukan? Politik Kiri di Masa Krisis

Kedalaman krisis saat ini tidak akan menghasilkan penerapan solusi yang berkesinambungan dalam jangka pendek ini. Dominasi kekuatan neoliberal dari kapitalisme pasar finansial masih belum terputus dan menghambat alternatif-alternatif fundamental. Terdapat konstelasi keterbukaan dan transisi yang mungkin bertahan selama satu dekade. Namun karena banyaknya problem fundamental yang tidak ditangani secara substansial, ancaman krisis yang lebih parah di bidang finansial, ekonomi, ekologi dan sosial terus membesar.

Para penguasa sedang terpecah. Konflik kepentingan sehubungan ini, perdebatan-perdebatan, pencarian kompromi, serta konsekuensi langkah-langkah parsial baru, memberikan peluang bagi terwujudnya posisi-posisi yang dikehendaki.

Namun, dalam sebagian besar masyarakat Jerman, baik Partai Kiri, serikat buruh, maupun sebagian besar gerakan sosial tidak memiliki kapasitas untuk membangun masa depan. Di Eropa, bukan kaum Kiri yang menentukan agenda. Secara global pun, posisi sebagaimana yang dikembangkan dalam proses Forum Sosial Dunia (World Social Forum) tentunya cukup kuat untuk menggugat legitimasi neoliberalisme dan pencarian solusi saat ini yang berasal dari atas, namun ia masih terlampau lemah untuk secara langsung mengintervensi jalannya peristiwa.

Tugas-tugas utama dari Kiri yang telah diperbaharui adalah:


  • Menghubungkan gerakan-gerakan yang melawan pemindahan konsekuensi krisis ke pundak pekerja, kaum yang secara sosial lebih lemah, dan dunia Selatan dengan mengembangkan perspektif yang berorientasi pada nilai-nilai solidaritas global, pengorganisiran perjuangan sosial dan pembangunan jaringan
  • Menciptakan ruang untuk kerja-kerja kolaboratif dan pengorganisiran diri aktor-aktor sosial yang siap mengembangkan dan menjalankan hidup alternatif
  • Dengan tegas menentang tindakan-tindakan reaksioner berupa penyitaan, pengikisan demokrasi dan pembukaan perang baru
  • Mendukung bentuk-bentuk intervensi negara yang progresif, pembaharuan wilayah publik, dan transformasi sosio-ekologis serta pembangunan global yang berlandaskan solidaritas
  • Dan dalam hal ini, mengembangkan pendekatan transformasi yang melampaui kapitalisme, maupun memperkenalkan dan mewujudkan langkah-langkah menuju transformasi sosio-ekologis dan menerapkan unsur-unsur masyarakat yang berlandaskan solidaritas.


Ini membutuhkan proses-proses transformatif dalam gerakan kiri itu sendiri, transformasi hubungan antara mereka dan gaya hidup yang diwakilkan oleh mereka.

Segitiga Strategis Politik Kiri

Kaum Kiri dapat mengintervensi secara simultan dalam tiga tingkat: dengan protes, kritik dan pendidikan; dengan pertarungan dalam memaknai krisis dan pembangunan bentuk-bentuk elaborasi yang didasarkan pada solidaritas, maupun dengan mengintervensi dalam proses-proses yang menentukan dan organisasi yang praktis. Dalam segitiga strategis politik pembelajaran sosial, kaum kiri harus membuktikan dirinya lewat politik koalisi yang lebar dan transformasi kepemilikan sosial serta hubungan kekuasaan.

Pendidikan dan Pengembangan Posisi Alternatif Bersama Yang Efektif dalam Wilayah Publik

Pendidikan emansipatoris di serikat-serikat buruh, gerakan sosial, inisiatif warga, perusahaan, sekolah, universitas, partai politik dan gereja maupun dalam media dan parlemen adalah syarat untuk menaklukan hegemoni budaya neoliberalisme dan prinsip-prinsipnya, seperti masyarakat berbasis pasar, negara yang otoriter dan rakyat sebagai pengusaha yang menjual tenaga kerjanya dan mengupayakan layanan sosialnya sendiri. Pendidikan dalam latar belakang ini memiliki makna penciptaan landasan bagi aksi-aksi solidaritas bersama dan penggalakkan pengorganisiran-diri oleh aktor-aktor sosial yang berminat menciptakan alternatif dari tingkat lokal hingga global.

Kaum Kiri dalam konteks parlementer dan juga ekstra parlementer harus mengajukan proposal yang menyertakan dan mendorong lebih jauh aspek-aspek penentu dari agenda ini (rekonstruksi sistem keamanan sosial, reformasi pajak, intervensi negara terhadap kepemilikan swasta, regulasi terhadap kapital, transformasi ekologis, rangkaian program, kebijakan keamanan, dsb.).

Dalam kondisi krisis ekonomi, perjuangan ini harus ditambatkan dengan internasionalisme baru.

Propaganda massa tentang contoh-contoh kongkrit yang menunjukkan bahwa situasi bisa dirubah, dengan mengangkat bentuk-bentuk pertukaran pengalaman di mana pengalaman individu dapat menjadi milik bersama, adalah bentuk-bentuk pembelajaran dan pendidikan yang penting dalam situasi ini. Bentuk-bentuk seperti pertanggung-jawaban sosial dari bawah atau pengawasan kebijakan anggaran juga termasuk dalam hal ini, sebagai bentuk-bentuk yang mengupayakan pendidikan melalui transparansi.

Konfrontasi dengan penyebab dan konsekuensi krisis ekonomi harus mengalir dari budaya perlawanan yang ada, yang menghadapi ketidak-amanan dan ancaman. Tepatnya dalam periode krisis ini, gerakan-gerakan sayap kiri butuh memahami dirinya sebagai suatu jaringan di mana solidaritas dapat hidup dan rasa aman dapat ditemukan.

Meletakkan Proyek Alternatif Konkrit ke dalam Agenda

Gerakan Kiri harus harus bekerja di wilayah-wilayah di mana mereka kuat - dan itu di atas segalanya adalah pada tingkat lokal dan kotapraja/kabupaten serta di tempat-tempat kerja. Aksi-aksi politik yang perlu dikedepankan secara bersamaan bertujuan untuk menerapkan bentuk-bentuk regulasi sosial yang demokratik dan menentang tekanan-tekanan dari akibat krisis yang dibebankan ke masyarakat

Perjuangan melawan Kemiskinan: 2010 di Uni Eropa seharusnya menjadi tahun melawan kemiskinan. Persiapan dan realisasinya yang efektif tidak seharusnya dinomorduakan karena "krisis".

Redistribusi dari atas ke bawah dan dari swasta ke publik: akumulasi kekayaan di tangan beberapa orang dan kelompok sosial yang jumlahnya semakin menyusut, menyebabkan mimpi buruk bagi masyarakat. Termasuk dalam dimensi ini, di atas segalanya, adalah merebut kembali wilayah pengamanan sosial (social security) dari genggaman pasar finansial dan pembaharuan sistem pengamanan sosial berlandaskan demokrasi dan solidaritas.

Sosialisasi Sektor Finansial: sistem finansial dalam totalitasnya harus diletakkan di bawah kendali publik. Ia harus diarahkan untuk kepentingan pembangunan kotapraja dan regional, untuk mendukung proyek integrasi dan kerjasama supra-nasional berdasarkan solidaritas.

Pertama, harus ada jaminan bahwa bank-bank koperasi dan simpanan kotapraja tetap dipertahankan dan didemokratiskan. Kedua, harus ada penyusunan organisasi yang fundamental dan baru terhadap model bisnis bank-bank publik. Bank Sentral Eropa (ECB) harus dilibatkan dalam dialog tentang strategi ekonomi Eropa bersama-sama dengan Dewan dan Parlemen Eropa. Harus ada pilar yang lebih jauh: sebuah dewan atau jajaran pimpinan yang terdiri dari aktor-aktor masyarakat.

Demokrasi ekonomi: semua perusahaan dan tempat kerja perlu diharuskan untuk menerapkan pengambilan keputusan bersama. Ekonomi seharusnya tidak lagi menjadi ruang yang tak ada demokrasi. Ini merupakan kasus pengembangan model ekonomi alternatif dalam konteks pengambilan-keputusan bersama dalam perusahaan dan tempat kerja maupun di luar itu. Yang sentral dalam konteks krisis saat ini adalah persoalan masa depan industri mobil dan produksi persenjataan, dan juga sektor-sektor yang kini dipromosikan dalam konteks modernisasi ekologi. Dukungan publik harus diikuti dengan partisipasi langsung tangan-tangan publik dalam perusahaan, dan dihubungkan dengan perluasan hak-hak pengambilan keputusan bersama, termasuk pengambilan keputusan bersama jenis baru dengan organisasi-organisasi di wilayah tersebut maupun organisasi ekologi dan konsumen, disertai pula keharusan untuk mengorientasikan diri kepada transformasi sosio-ekologi. Ini juga di saat bersamaan menjadi fondasi bagi dukungan luas terhadap perusahaan kecil dan menengah.

Mendemokratiskan demokrasi: kerjasama demokratik dan radikalisasi demokrasi merupakan bentuk-bentuk penting dalam mempelajari politik, hubungan kekuasaan, ruang-ruang manuver dan batasan-batasan masyarakat. Hal-hal tersebut melegitimasi alternatif dan perlawanan, dan dapat digunakan untuk memberikan ruang bagi aksi solidaritas. Ini menuntut demokratisasi kebijakan anggaran melalui analisa anggaran publik dan anggaran partisipatoris maupun dukungan terhadap inisiatif remunisipalisasi, untuk mendelegitimasi pengintegrasian keuangan kotapraja dan kepemilikan publik dalam bisnis-bisnis spekulatif maupun konsep-konsep yang dipertanyakan seperti konsolidasi anggaran.

Politik Untuk Memperjuangkan Kesempatan Kerja Penuh dan Pekerjaan Layak: sudah saatnya mengambil pemikiran tentang sektor lapangan kerja publik yang kini diarahkan untuk pemulihan agar didorong menuju ekonomi politik yang baru, aktif dan demokratik yang mendukung struktur sosial. Sektor-sektor lapangan kerja publik harus dipahami sebagai suatu proses penciptaan ruang-ruang baru bagi budaya dan pelayanan sosial, pengorganisasian diri dan inisiatif dari bawah, integrasi solidaritas dan dengan begitu suatu basis bagi jalan baru ekonomi solidaritas maupun pengembangan ekonomi dan bisnis yang berkesinambungan secara sosial.

Sistem Pendidikan Berbasiskan Solidaritas dan Pembaharuan Ruang-ruang Publik untuk Demokrasi dan Budaya: transformasi sosial hanya mungkin bila akses pendidikan, kerjasama demokratik, seni dan budaya mengalami transformasi yang menentukan, serta seleksi sosial dalam sistem pendidikan diakhiri. Di sini kita membutuhkan reorganisasi yang fundamental terhadap sistem pendidikan, dimulai dari perluasan bantuan integratif untuk kanak-kanak; pengenalan sekolah komunitas sebagai "sekolah untuk semua" dan tempat untuk berkumpul dan bersolidaritas, untuk memberikan kehidupan masa kanak-kanak dan masa muda yang bermakna, dengan interelasi antara pembelajaran, bermain, saling menolong, musyawarah demokratik, pengembangan diri dan proyek-proyek sosial yang praktis.

Pembaharuan dan Demokratisasi Ekonomi Kotapraja/Kabupaten: sebagai poros sentral inisiatif ekonomi politik dengan fokus penyediaan energi, layanan kesehatan, transportasi. Sejalan dengan itu adalah menjamin kualifikasi kerja-kerja para perwakilan kotapraja dalam badan-badan pengawasan dalam makna komunalisasi partisipatif layanan-layanan publik yang meninggalkan pola lama ekonomi patronase dan layanan kesejahteraan yang paternalistik. Ekonomi kotapraja harus menjadi titik tolak regionalisasi siklus ekonomi secara sosial dan ekologis.

Untuk Sistem Transportasi Publik Gratis: langkah esensial transformasi sosial dan ekologis adalah menerapkan transisi sistem transportasi publik yang memudahkan penggunanya dan menjamin tingkat mobilitas individual yang tinggi bagi kelompok-kelompok sosial yang lemah.

Politik Perdamaian dan Komitmen Pada Solidaritas Pembangunan Global: Kita perlu mewujudkan kapasitas untuk membangun masa depan di sebagian besar wilayah di dunia sebagai persyaratan bagi pembangunan berkesinambungan di dunia secara umum: strategi politik keamanan dan pertahanan dan prinsip-prinsip Uni Eropa dan negara anggotanya harus dimoratoriumkan. Perdebatan luas dalam semua tingkat politik perlu mengklarifikasikan apa yang dimaksud dengan "keamanan dalam dunia yang terglobalisasi".

Demi Masyarakat Solidaritas

Masa-masa ketiadaan alternatif telah usai. Bila penguasa terpaksa menangani dampak-dampak sistemik, maka kemungkinan intervensi dari Kiri dan bawah terbuka. Tapi bagaimana ini bisa dibuka dan digunakan?

Saatnya meletakkan perspektif transformasi yang meninggalkan kapitalisme dalam agenda kita, dengan tujuan masyarakat solidaritas.

Sosialisasi kerugian dapat dan harus ditentang oleh tuntutan sosialisasi kontrol kepemilikan. Bantuan kepada industri-industri dari epoh bahan bakar fosil harus digantikan dengan pengalihan pada sumber energi surya. Kaum Kiri harus merespon proklamasi kembalinya ekonomi pasar "sosial" yang telah gagal dengan tuntutan untuk melangkah lebih jauh menuju masyarakat solidaritas dengan ekonomi campuran yang teregulasi secara sosial dan ekologis, dengan sektor publik and ekonomi bersama yang kuat sebagai langkah awal menuju transformasi sosio-ekologis. Kelanjutan politik perdagangan dunia dan pembangunan yang berdasarkan kepentingan negeri-negeri Utara dapat ditentang dengan konsep kerjasama yang setara berlandaskan solidaritas.

Bila keyakinan ini meluas sehingga hanya menjadi persoalan memberikan informasi yang benar kepada individu pribadi yang egois, Homo Oeconomicus, dan lebih eksplisit dalam mengambil tanggung jawab, maka kaum Kiri harus menegakan citra manusia lainnya - yakni manusia yang menentukan nasibnya sendiri, yang melihat permasalahan secara bersolidaritas dan memperjuangkan kesejateraan seluruh kehidupan.

Konsep masyarakat solidaritas adalah konsep perebutan kembali tenaga-tenaga produktif dengan tujuan menghapuskan tendensi-tendensi menghancurkan dari dekade sebelumnya dan membangkitkan kesadaran diri massa akan kekuatan mereka sendiri dalam memecahkan permasalahan di dunia secara bersama-sama. Ini melibatkan semua tingkat - lokal, regional dan global. Dunia lain, dunia solidaritas, bukan saja dibutuhkan - lebih dari sebelumya, ia kini mungkin.

Sumber: Nefos.org
 
© Copyright 2010-2011 Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat All Rights Reserved.
Template Design by team Lembaga dot us | Published by team Lembaga dot us | Powered by Blogger.com.