Karut Marut Dunia Pendidikan

Selasa, 07 Februari 2012

Oleh: Dedy*

Pasca perdamaian, UUPA diberlakukan di Aceh, konsekwensinya wewenang mengatur daerah termasuk wewenang dalam membangun pendidikan menjadi semakin besar. Kecuali itu, UUPA telah memberikan sumber dana bagi pendidikan Aceh menjadi lebih besar dari sebelumnya. Sehingga, ketika daerah lain belum mampu menganggarkan anggaran pendidikan 20 %, Aceh sudah lebih dahulu mengalokasikan dana pendidikan dalam jumlah yang cukup besar, yakni mencapai angka Rp 700 miliar. Pasca tsunami, anggaran pendidikan Aceh naik menjadi Rp 1.3 triliun. Tapi anehnya kualitas pendidikan kita tidak kunjung meningkat. Banyak kampus-kampus di Aceh minim kualitas.

Mungkin, “Ironis” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan kita hari ini. Dahulu kita bisa beralasan dunia pendidikan Aceh hancur akibat konflik politik, banyak sekolah dibakar oleh orang tidak dikenal, banyak guru yang diculik, Proses belajar mengajar yang terganggu akibat letusan senapan dan sebagainya. Sekarang situasi politik dan keamanan sudah mulai sedikit stabil, namun dunia pendidikan kita masih saja kacau. Padahal dana untuk sector pendidikan semakin meningkat sementara di sisi lain biaya kuliah atau sekolah semakin hari semakin tinggi. Seiring dengan meningginya jumlah anak putus sekolah dan siswa yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pasca damai, kenyataan pahit ini bukanlah hal aneh dalam dunia pendidikan kita. Ini adalah siklus berulang, hampir setiap tahun terjadi. Mulai dari minimnya prestasi, rendahnya kualitas dosen dan guru, biaya SPP yang naik setiap tahunnya, hingga kurang memadainya sarana pendidikan dalam menunjang proses belajar mengajar, dan bahkan hingga saat ini masih ada beberapa kampus dan sekolah di Aceh yang tidak memiliki ruang kelas layak pakai.

Pertanyaannya, kenapa kondisi ini bisa terjadi? Mungkin agak sulit untuk menjawabnya ditengah karut marut system pendidikan kita hari ini. Begitupun ada benang merah yang bisa ditarik, pengelolaan pendidikan di daerah ini mulai dari tingkat pengambil kebijakan hingga aparat birokrasi di lapangan selama ini tidak pernah dilakukan secara professional. Pendidikan di daerah ini ditangani oleh para birokrat pendidikan yang tidak layak. Penyebabnya, bisa jadi karena jabatan-jabatan di Dinas Pendidikan, sudah menjadi jabatan politis. Dan aparat birokrasi di lapangan bekerja dengan orientasi proyek tanpa memperhatikan kualitas dan mutu pendidikan. Ditambah lagi birokrasi pendidikan tidak seluruhnya dipegang oleh pemerintah, hal ini terbukti dengan adanya swasta pendidikan yang disebut yayasan. sistem yang dibuat oleh yayasan jika dihitung persentasenya adalah kurang lebih 75% demi mencari keuntungan, 10% untuk amal dan 15% pendidikan. Kapitalisme yang berkedok jasa pendidikan adalah penghancur masa depan bangsa. hal ini dapat dilihat dari pola sistem yang diterapkan seperti, biaya kuliah atau sekolah yang mahal, fasilitas yang dominan tidak memuaskan serta arogansi aparat birokrasinya ketika berhadapan dengan mahasiswa atau pelajar. Selain biaya SPP yang tinggi, masih banyak kutipan-kutipan liar oleh aparat birokrasi pendidikan baik di tingkatan kampus maupun sekolah ditengah usaha pemerintah mengkampanyekan pendidikan gratis (gratis?).  Oleh karena itu, jika berkaca dari kondisi ini kita pantas menduga kalau semangat pendidikan untuk mendidik telah digantikan dengan kepentingan untuk mendulang untung setinggi-tingginya tanpa mempertimbangkan kualitas. Padahal seharusnya, dunia pendidikan harus benar-benar bisa menjadi lingkungan ilmiah yang bebas dari segala kepentingan. Oleh karena itu, tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan di kampus antara apa yang dikonstruksikan secara normative dengan praktek dilapangan. Namun ironisnya, wajah dunia pendidikan kita seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, semangat pendidikan dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang cerdas dan demokratis, namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, cerdas, toleransi dan multi-kulturisme. Contoh dalam hal ini adalah banyaknya kebijakan-kebijakan yang di ambil, baik di tingkatan kampus maupun sekolah-sekolah tidak pernah mempertimbangkan untuk berkoordinasi dan berkonsultasi dengan para mahasiswa/pelajar. Jika melakukan protes, para mahasiswa/pelajar diancam dengan berbagai kebijakan otoriter seperti ancaman di Drop Out (DO), pengurangan nilai mata kuliah/pelajaran dan tidak di naikkan kelas.

Jika hal seperti ini dibiarkan terus maka tidak mustahil kedepan di Aceh akan membludaknya angka pengangguran terbuka akibat dunia kerja tidak mau menerima lulusan yang berasal dari kampus-kampus yang tidak terakreditasi ini. Selain itu akan meningkatnya angka para lulusan SMA yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi akibat semakin mahal biaya pendidikan. Habeh lagee..
Share this article on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat All Rights Reserved.
Template Design by team Lembaga dot us | Published by team Lembaga dot us | Powered by Blogger.com.