Dunia Maya dan Gerakan Sosial Anti Korupsi

Sabtu, 11 Februari 2012

Akhirnya, setelah cukup lama menggelinding tidak jelas, kasus korupsi wisma atlet mulai menyeret aktor-aktor utamanya. Pada 3 Februari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang petinggi partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka.

Di jejaring sosial, khususnya Facebook dan Twitter, gebrakan KPK tersebut mengundang apresiasi banyak orang. Maklum, pejabat KPK sebelum periode sekarang tidak punya keberanian untuk mengungkap sejumlah kasus korupsi di sarang penguasa: istana dan partai demokrat.

Gairah anti-korupsi pun muncul kembali. Iklan anti-korupsi partai demokrat, yang juga melibatkan Angelina dan Anas Urbaningrum sebagai aktornya, jadi ‘bulan-bulanan’ kecaman warga Facebook. Bagi sebagian orang, dengan terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan banyak orang Demokrat, bahkan kemungkinan menyeret Ketua Umumnya Anas Urbaningrum, jualan SBY tentang anti-korupsi sudah tidak laku lagi.

Pada tahun 2009 lalu, ketika dua petinggi KPK hendak dikriminalkan oleh Polisi, muncul gerakan sosial anti-korupsi yang cukup kuat di jejaring sosial. Di facebook, misalnya, dukungan terhadap gerakan ini mencapai jutaan orang/pengguna. Lalu, dalam kasus Prita Mulyasari, dukungan luas di dunia maya juga sangat besar.

Akan tetapi, kendati dukungan begitu melimpah ruah di dunia, tetapi di jalanan dukungan itu tidak terlalu signifikan. Sebagian besar facebooker dan tweeple (pengguna twitter), yang juga sebagian besar klas menengah, hanya sanggup bergerak di dunia maya.

Benar, jejaring sosial punya signifikansi dalam kampanye dan penggalangan isu. Hanya saja, aktivitas dunia maya (klik, update status, share) belum tentu bisa mengubah keadaan. Tetap saja gerakan sosial di dunia maya itu butuh aksi konkret di dunia nyata.

Internet, sengaja atau tidak, telah memprivatisasi kehidupan politik. Banyak orang mempercayai bahwa mensirkulasikan berbagai statemen, kronologis, atau manifesto untuk orang lain di jejaring sosial adalah aksi politik. Akhirnya, mereka mengabaikan pentingnya aksi politik di dunia nyata: aksi ke sasaran-sasaran kekuasaan, konfrontasi, penggalangan massa rakyat, dan seterusnya.

Kita pun melihat fenoma politik waktu luang. Aktualisasi politik sekedar untuk mengisi waktu luang. Jadinya, kelihatan seperti aji-mumpung: mumpung ada waktu, ia melontarkan kritik via update status atau comment. Ini adalah gaya berpolitik klas menengah, yang terpisah dan kehilangan kontak dengan realitas dan massa luas.

‘Pengkultusan’ terhadap peran internet dalam sejumlah perubahan sosial di ‘Arab Spring”, khususnya di Tunisia dan Mesir, telah mengabaikan fakta: gerakan revolusioner di Mesir, juga Tunisia, tidak akan mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar jikalau tidak ada pengorganisiran massa, propaganda massif, pengorganisiran rakyat, pembuatan panggung-panggung protes, dan seterusnya.

Di negara-negara yang sangat represif, seperti Mesir dan Tunisia, jejaring sosial memang bisa berperan penting dalam mempublikasikan aksi publik, menggalang solidaritas, dan mengorganisir protes. Akan tetapi, di negera yang sangat liberal seperti Indonesia, kontak langsung dengan massa justru menjadi sangat penting.

Lagi pula, jejarang sosial bisa sangat berguna bagi gerakan sosial, tapi ia tidak dapat diandalkan untuk melakukan revolusi; ia dapat memberi informasi, mengorganisir forum debat, dan menyerukan mobilisasi, tetapi ia tidak dapat menyediakan kepemimpinan dan organisasi untuk memastikan aksi politik sampai pada perebutan (bukan sekedar menggulingkan) kekuasaan.

Oleh karena itu, di tengah ‘kegentingan’ negara kita akibat korupsi, dan terutama sekali akibat eksploitasi neoliberal, sangat diharapkan adanya tindakan dan aksi politik yang konkret: protes besar-besaran, pawai akbar, rapat akbar, konfrontasi di pusat kekuasaan, dan lain-lain.

Melansir data Socialbakers.com, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 43,06 juta pengguna. Sedangkan pengguna Twitter di Indonesia mencapai 19,5 juta akun. Artinya, dengan jumlah sebesar itu, jejaring sosial memang potensial sebagai media propaganda dan meluaskan perlawanan.

Akan tetapi, dunia maya bukanlah arena perjuangan sosial sesungguhnya, melainkan di dunia nyata. Korupsi tidak akan berhenti kalau cuma dikecam, tetapi memerlukan adanya aksi politik untuk menghancurkan sistim ekonomi-politik yang telah memungkinkan terjadinya korusi.

Sudah tiba saatnya protes dan kemarahan di dunia maya dimanifestasikan di dunia nyata. Sudah tiba saatnya pula kaum militan di dunia maya menjalin kontak dengan realitas dan massa rakyat.

Sumber: Berdikari Online
Share this article on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat All Rights Reserved.
Template Design by team Lembaga dot us | Published by team Lembaga dot us | Powered by Blogger.com.